Skip to main content

Prinsip 10 # Seri Ushul Isyrin

Ma'rifah kepada Allah dengan sikap tauhid dan penyucian(dzat)-Nya adalah setinggi-tinggi tingkatan aqidah islam. Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan hadits-hadits shahih tentangnya serta berbagai keterangan mutasyabihat yang berhubungan dengannya kita cukup mengimaninya sebagaimana adanya, tanpa ta'wil dan ta'thil dan tidak juga memperuncing perbedaan yang terjadi diantara para ulama. Kita mencukupkan diri dengan keterangan yang ada, sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya mencukupkan diri dengannya.

"Orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami (Ali-Imron : 7)'"


Permasalahan dalam pasal 10 ini adalah tentang penafsiran kepada ma'rifat kepada Allah. Permasalahan ini muncul ketika mulai bermunculan aliran-aliran aqidah dalam islam, mulai dari qadariyah yang sepenuhnya percaya adanya takdir Allah dan mereka percaya bahwa segala sesuatu itu skenarionya sudah ada pada Allah, kita di dunia ini hanya sebagai boneka yang dimainkan oleh orang yang punya, Hingga kepada jabariyah yang menolak adanya takdir Allah, bahwa segalanya itu bisa dicapai karena usaha kita dan tidak ada campur tangan Allah di dalamnya. Termasuk di dalamnya terdapat mu'tazilah. Dan masih banyak lagi aliran-aliran aqidah yang mulai bermunculan setelah khulafaurRasyidin semua wafat.

Mengapa kemudian Hasan al-Banna menuliskan hal ini kedalam Pokok yang dua puluh ? Tujuan Hasan al-Banna dalam menulis ini tiada lain adalah agar kita jangan terjerumus kepada penafsiran yang mengada-ada tentang tuhan. Penafsiran-penafsiran yang kemudian menjerumuskan kita kepada hal-hal yang mampu membawa kita keluar Islam, karena ini adalah masalah aqidah. Masalah aqidah adalah masalah ushul dalam Islam. Bagaimana kemudian tabiat para sahabat dan orang-orang yang mendalam ilmunya tidaklah mempermasalahkan hal itu. Seperti apa yang difirmankan oleh Allah dalam salah satu ayatnya di Ali-Imron ayat 7. Bahwa mereka beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat dan semuanya itu hanya dari Allah. Artinya hanya Allahlah yang tahu, kita tidak tahu dan kita mau tahu. Seperti itulah tabiat atau sikap para sahabat terdahulu.

Penafsiran ayat-ayat yang mengandung tentang sifat-sifat-Nya, dalam hal ini Hasan al-Banna mengelompokkan orang-orang dalam 4 kelompok :

Kelompok yang Pertama, mereka mengambil zahir teks yang tersirat sebagaimana adanya. Artinya disini, orang-orang yang pada kelompok pertama adalah mereka percaya bahwa Allah punya tangan seperti tangannya manusia(seperti dalam surat al-Fath, ayatnya lupa). Atau mungkin ada teks dalam al-quran menggambarkan wajah Allah, mereka pun akan menafsiran bahwa Allah punya wajah seperti wajah makhluknya.

Kelompok yang Kedua, mereka mengabaikan makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz diatas dalam segala bentuknya. Mereka ini seolah-olah tangan Allah itu tidak ada, sifat-sifat yang lain juga mereka nafikkan. Mereka juga tidak percaya dengan wajah Allah itu ada.

Kelompok ketiga, percaya menetapkan adanya sifat-sifat. Namun pada hakikat, makna diserahkan kepada Allah. Disinilah kita kemudian harus mengikuti kelompok ini. Yaitu, kita percaya bahwa Allah punya tangan, Allah punya wajah, ataupun Allah itu pernah marah, Atau Allah seperti apapun yang digambarkan dalam al-Quran. Namun, untuk maknanya kita serahkan kepada Allah saja. Apakah tangannya Allah seperti manusia, itu kita serahkan kepada Allah. Atau mungkin apakah wajahnya Allah itu sama dengan wajah makhluknya atau beda, itu kita serahkan kepada Allah. Dan inilah sebaik-baik kelompok yang mengimani sifat Allah.

Kelompok yang Keempat, mereka menakwilkan sifat-sifat Allah dengan arti yang lain. Misalkan dalam kasus ini, saya mengambil surat al-Fath sebagai contoh. Orang-orang dalam kelompok empat ini, mereka mentakwilkan tangan Allah itu seperti kekuasanNya, misalnya. Jadi, orang-orang ini mereka mentakwilkan sifat Allah dengan interpretasi yang berbeda dari yang lain. Namun di sini tetap beda dengan kelompok yang pertama yang meyakini betul bahwa Allah punya tangan. Kalau di kelompok empat ini, mereka menafsirkan dengan sesuatu seperti yang saya contohkan tadi.

Sebagai penutup, Hasan al-Banna disini berpesan bahwa kewajiban muslim terhadap aqidah islam yang paling tinggi adalah :

1. mengenal-Nya secara yakin, bukan secara pengetahuan intelektual

2. mentauhidkan-Nya dengan tulus tanpa keraguan di dalamNya

3. meyakini kesempurnaan hanyalah milik Allah dan meMahaSucikan-Nya dengan segala kekurangan.



Wallahu a'lam wa huwal muwafiq ilaa aqwamit thariq

Comments

Popular posts from this blog

Prinsip 1 # Seri Ushul 'Isyrin

"Islam adalah sistem yang menyeluruh yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan ummat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih." - pasal 1 Ushul 'Isyrin - Terlihat nampak jelas oleh kita, bahwa sesunguhnya pemikiran yang dibawa oleh Hasan al-Banna ini ketika diawal adalah memahamkan islam terlebih dahulu. Hasan al-Banna dengan berbagai intepretasinya, menegaskan bahwa sesungguhnya kehancuran islam adalah pemahaman yang lemah terhadap islam. Makanya disini beliau mengawali langkahnya dengan Syumuliyatul Islam. Kebencian orang-orang yang benci terhadap islam semakin membesar. Oleh karena itu, orang-orang yang benci terhadap islam menyeru agar orang-orang islam jauh terhadap agama

Prinsip 5 # Seri Ushul 'Isyrin

"Pendapat imam atau wakilnya tentang sesuatu yang tidak ada teks hukumnya, tentang sesuatu yang mengandung ragam interpretasi, dan tentang sesuatu yang membawa kemaslahatan umum bisa diamalkan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah umum syariat. Ia mungkin berubah seiring dengan perubahan situasi, kondisi, dan tradisi setempat. Yang prinsip, ibadah itu diamalkan dengan kepasrahan total tanpa mempertimbangkan makna. Sedangkan dalam urusan selain ibadah (adat istiadat) maka harus mempertimbangkan maksud dan tujuannya." Dalam pasal yang kelima ini, Hasan al-Banna ingin mengatakan bahwa semua pendapat imam yang tidak ada teks hukumnya boleh kita amalkan jika memang itu membawa kemaslahatan ummat. Dari sini juga, semua manusia bisa menggunakan ijtihadnya masing-masing. Jadi dalam mengambil keputusan yang didalamnya tidak mengandung atau tidak ada dalil sebagai landasan hukumnya, maka kita boleh mengambil pendapat imam yang kita yakini atau kita punya ijtihad sendiri.

Prinsip 2 # Seri Ushul 'Isyrin

"Al-Quran yang mulia dan sunnah Rasul yang suci adalah tempat kembali setiap muslim untuk memahami hukum-hukum Islam. Ia harus memahami Al-Quran sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, tanpa takalluf (memaksakan diri) dan ta'asuf (serampangan). Selanjutnya ia memahami sunnah suci melalui rijalul hadits (perawi hadits) yang terpercaya." Pasal yang kedua ini, Ustadz Hasan al-Banna memberikan tentang landasan berpikir manusia. Memberikan landasan tentang kesempurnaan Islam. Setelah kita memahami kesempurnaan Islam, maka seyogyanya kita juga harus memahami landasan kenapa kita harus sempurna islam kita. Karena sesungguhnya, dua kitab itulah yang menjadikan Islam ini jauh lebih sempurna ketimbang agama yang lainnya. Ajarannya yang suci tidak lepas dari peran kedua kitab ini. Kitab ini juga yang menjadi wasiat Rasulullah ketika akan meninggal. Adakah yang lebih berharga daripada al-Quran dan as-Sunnah ketika rasulullah wafat ? Allah berfirman dalam surat an-Nisa : 59