Ma'rifah kepada Allah dengan sikap tauhid dan penyucian(dzat)-Nya adalah setinggi-tinggi tingkatan aqidah islam. Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan hadits-hadits shahih tentangnya serta berbagai keterangan mutasyabihat yang berhubungan dengannya kita cukup mengimaninya sebagaimana adanya, tanpa ta'wil dan ta'thil dan tidak juga memperuncing perbedaan yang terjadi diantara para ulama. Kita mencukupkan diri dengan keterangan yang ada, sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya mencukupkan diri dengannya.
"Orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami (Ali-Imron : 7)'"
Permasalahan dalam pasal 10 ini adalah tentang penafsiran kepada ma'rifat kepada Allah. Permasalahan ini muncul ketika mulai bermunculan aliran-aliran aqidah dalam islam, mulai dari qadariyah yang sepenuhnya percaya adanya takdir Allah dan mereka percaya bahwa segala sesuatu itu skenarionya sudah ada pada Allah, kita di dunia ini hanya sebagai boneka yang dimainkan oleh orang yang punya, Hingga kepada jabariyah yang menolak adanya takdir Allah, bahwa segalanya itu bisa dicapai karena usaha kita dan tidak ada campur tangan Allah di dalamnya. Termasuk di dalamnya terdapat mu'tazilah. Dan masih banyak lagi aliran-aliran aqidah yang mulai bermunculan setelah khulafaurRasyidin semua wafat.
Mengapa kemudian Hasan al-Banna menuliskan hal ini kedalam Pokok yang dua puluh ? Tujuan Hasan al-Banna dalam menulis ini tiada lain adalah agar kita jangan terjerumus kepada penafsiran yang mengada-ada tentang tuhan. Penafsiran-penafsiran yang kemudian menjerumuskan kita kepada hal-hal yang mampu membawa kita keluar Islam, karena ini adalah masalah aqidah. Masalah aqidah adalah masalah ushul dalam Islam. Bagaimana kemudian tabiat para sahabat dan orang-orang yang mendalam ilmunya tidaklah mempermasalahkan hal itu. Seperti apa yang difirmankan oleh Allah dalam salah satu ayatnya di Ali-Imron ayat 7. Bahwa mereka beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat dan semuanya itu hanya dari Allah. Artinya hanya Allahlah yang tahu, kita tidak tahu dan kita mau tahu. Seperti itulah tabiat atau sikap para sahabat terdahulu.
Penafsiran ayat-ayat yang mengandung tentang sifat-sifat-Nya, dalam hal ini Hasan al-Banna mengelompokkan orang-orang dalam 4 kelompok :
Kelompok yang Pertama, mereka mengambil zahir teks yang tersirat sebagaimana adanya. Artinya disini, orang-orang yang pada kelompok pertama adalah mereka percaya bahwa Allah punya tangan seperti tangannya manusia(seperti dalam surat al-Fath, ayatnya lupa). Atau mungkin ada teks dalam al-quran menggambarkan wajah Allah, mereka pun akan menafsiran bahwa Allah punya wajah seperti wajah makhluknya.
Kelompok yang Kedua, mereka mengabaikan makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz diatas dalam segala bentuknya. Mereka ini seolah-olah tangan Allah itu tidak ada, sifat-sifat yang lain juga mereka nafikkan. Mereka juga tidak percaya dengan wajah Allah itu ada.
Kelompok ketiga, percaya menetapkan adanya sifat-sifat. Namun pada hakikat, makna diserahkan kepada Allah. Disinilah kita kemudian harus mengikuti kelompok ini. Yaitu, kita percaya bahwa Allah punya tangan, Allah punya wajah, ataupun Allah itu pernah marah, Atau Allah seperti apapun yang digambarkan dalam al-Quran. Namun, untuk maknanya kita serahkan kepada Allah saja. Apakah tangannya Allah seperti manusia, itu kita serahkan kepada Allah. Atau mungkin apakah wajahnya Allah itu sama dengan wajah makhluknya atau beda, itu kita serahkan kepada Allah. Dan inilah sebaik-baik kelompok yang mengimani sifat Allah.
Kelompok yang Keempat, mereka menakwilkan sifat-sifat Allah dengan arti yang lain. Misalkan dalam kasus ini, saya mengambil surat al-Fath sebagai contoh. Orang-orang dalam kelompok empat ini, mereka mentakwilkan tangan Allah itu seperti kekuasanNya, misalnya. Jadi, orang-orang ini mereka mentakwilkan sifat Allah dengan interpretasi yang berbeda dari yang lain. Namun di sini tetap beda dengan kelompok yang pertama yang meyakini betul bahwa Allah punya tangan. Kalau di kelompok empat ini, mereka menafsirkan dengan sesuatu seperti yang saya contohkan tadi.
Sebagai penutup, Hasan al-Banna disini berpesan bahwa kewajiban muslim terhadap aqidah islam yang paling tinggi adalah :
1. mengenal-Nya secara yakin, bukan secara pengetahuan intelektual
2. mentauhidkan-Nya dengan tulus tanpa keraguan di dalamNya
3. meyakini kesempurnaan hanyalah milik Allah dan meMahaSucikan-Nya dengan segala kekurangan.
Wallahu a'lam wa huwal muwafiq ilaa aqwamit thariq
"Orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami (Ali-Imron : 7)'"
Permasalahan dalam pasal 10 ini adalah tentang penafsiran kepada ma'rifat kepada Allah. Permasalahan ini muncul ketika mulai bermunculan aliran-aliran aqidah dalam islam, mulai dari qadariyah yang sepenuhnya percaya adanya takdir Allah dan mereka percaya bahwa segala sesuatu itu skenarionya sudah ada pada Allah, kita di dunia ini hanya sebagai boneka yang dimainkan oleh orang yang punya, Hingga kepada jabariyah yang menolak adanya takdir Allah, bahwa segalanya itu bisa dicapai karena usaha kita dan tidak ada campur tangan Allah di dalamnya. Termasuk di dalamnya terdapat mu'tazilah. Dan masih banyak lagi aliran-aliran aqidah yang mulai bermunculan setelah khulafaurRasyidin semua wafat.
Mengapa kemudian Hasan al-Banna menuliskan hal ini kedalam Pokok yang dua puluh ? Tujuan Hasan al-Banna dalam menulis ini tiada lain adalah agar kita jangan terjerumus kepada penafsiran yang mengada-ada tentang tuhan. Penafsiran-penafsiran yang kemudian menjerumuskan kita kepada hal-hal yang mampu membawa kita keluar Islam, karena ini adalah masalah aqidah. Masalah aqidah adalah masalah ushul dalam Islam. Bagaimana kemudian tabiat para sahabat dan orang-orang yang mendalam ilmunya tidaklah mempermasalahkan hal itu. Seperti apa yang difirmankan oleh Allah dalam salah satu ayatnya di Ali-Imron ayat 7. Bahwa mereka beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat dan semuanya itu hanya dari Allah. Artinya hanya Allahlah yang tahu, kita tidak tahu dan kita mau tahu. Seperti itulah tabiat atau sikap para sahabat terdahulu.
Penafsiran ayat-ayat yang mengandung tentang sifat-sifat-Nya, dalam hal ini Hasan al-Banna mengelompokkan orang-orang dalam 4 kelompok :
Kelompok yang Pertama, mereka mengambil zahir teks yang tersirat sebagaimana adanya. Artinya disini, orang-orang yang pada kelompok pertama adalah mereka percaya bahwa Allah punya tangan seperti tangannya manusia(seperti dalam surat al-Fath, ayatnya lupa). Atau mungkin ada teks dalam al-quran menggambarkan wajah Allah, mereka pun akan menafsiran bahwa Allah punya wajah seperti wajah makhluknya.
Kelompok yang Kedua, mereka mengabaikan makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz diatas dalam segala bentuknya. Mereka ini seolah-olah tangan Allah itu tidak ada, sifat-sifat yang lain juga mereka nafikkan. Mereka juga tidak percaya dengan wajah Allah itu ada.
Kelompok ketiga, percaya menetapkan adanya sifat-sifat. Namun pada hakikat, makna diserahkan kepada Allah. Disinilah kita kemudian harus mengikuti kelompok ini. Yaitu, kita percaya bahwa Allah punya tangan, Allah punya wajah, ataupun Allah itu pernah marah, Atau Allah seperti apapun yang digambarkan dalam al-Quran. Namun, untuk maknanya kita serahkan kepada Allah saja. Apakah tangannya Allah seperti manusia, itu kita serahkan kepada Allah. Atau mungkin apakah wajahnya Allah itu sama dengan wajah makhluknya atau beda, itu kita serahkan kepada Allah. Dan inilah sebaik-baik kelompok yang mengimani sifat Allah.
Kelompok yang Keempat, mereka menakwilkan sifat-sifat Allah dengan arti yang lain. Misalkan dalam kasus ini, saya mengambil surat al-Fath sebagai contoh. Orang-orang dalam kelompok empat ini, mereka mentakwilkan tangan Allah itu seperti kekuasanNya, misalnya. Jadi, orang-orang ini mereka mentakwilkan sifat Allah dengan interpretasi yang berbeda dari yang lain. Namun di sini tetap beda dengan kelompok yang pertama yang meyakini betul bahwa Allah punya tangan. Kalau di kelompok empat ini, mereka menafsirkan dengan sesuatu seperti yang saya contohkan tadi.
Sebagai penutup, Hasan al-Banna disini berpesan bahwa kewajiban muslim terhadap aqidah islam yang paling tinggi adalah :
1. mengenal-Nya secara yakin, bukan secara pengetahuan intelektual
2. mentauhidkan-Nya dengan tulus tanpa keraguan di dalamNya
3. meyakini kesempurnaan hanyalah milik Allah dan meMahaSucikan-Nya dengan segala kekurangan.
Wallahu a'lam wa huwal muwafiq ilaa aqwamit thariq
Comments
Post a Comment
thank's for your comentar,bro !!!