Skip to main content

Jamaah, Kekuatan Islam sesungguhnya

Sebelum saya memulai tulisan ini, saya akan mencoba untuk memberikan satu ayat yang mudah-mudahan member kita inspirasi.

"إنّ الله يحب الذين يقاتلون في سبيله صفاً كأنهم بنيانٌ مرصوصٌ"

“ Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam BARISAN YANG TERATUR seakan-akan mereka seperti SUATU BANGUNAN YANG KOKOH.”

Ayat di atas sepertinya sudah sering didengar bagi yang suka membacanya. Dan sangat aneh bagi yang sangat jarang membacanya. Tapi, itu hanya sekedar pembukaan untuk memulai apa yang ingin saya sampaikan. Semoga apa yang saya tuliskan ini menjadi ajakan bagi semua ummat umumnya dan khususnya bagi orang islam sendiri. Saat ini, hampir semua bangsa mengalami perpecahan dalam bangsanya. Tidak lain adalah bangsa Indonesia. Ideologi nasionalisme ternyata tidak mampu mewadahi yang namanya persatuan. Nasionalisme hanya menjadi ajang legitimasi oleh orang-orang yang berkepentingan saja. Wadah yang pernah disukseskan oleh dua negara besar yaitu Prancis dan Amerika, bersatu atas jiwa nasionalisme mereka.

Tapi sekarang telah berbeda zaman. Nasionalisme pun telah berganti bukan secara substansi, tapi secara simbolik. Secara substansi memang nasionalisme memiliki arti yang sangat mulia. Bahkan tidak bertentangan dengan Islam. Tapi, sekarang ini segalanya dipenuhi dengan hal-hal yang berbau simbolik saja. Akhirnya, negara-negara besar seperti Yugoslavia dan Uni Sovyet hancur berantakan. Nasionalisme juga yang menyebabkan syariat Islam tidak bisa tegak. Karena dengan alasan bahwa kemajemukan manusia.

Saya, jadi teringat akan syair Muhammad Iqbal yang resah akan perpecahan ini. “Walau kita satu keluarga, namun kita tak saling mengenal. Himpunlah daun-daun yang berhamburan ini. Hidupkan lagi ajaran saling mencintai. Ajari kami berkhidmat seperti dulu.” Ini adalah hati seorang Muhammad iqbal. Nasionalisme yang secara substansi adalah Jama’ah itu sendiri. Dari jama’ah, islam muncul sebagai kekuatan yang sebenarnya. Tanpa rasa nasionalisme (baca : Jama’ah) rakyat Gaza sudah menjadi bagian Israel Raya. Tanpa nasionalisme, Indonesia tidak akan merdeka. Karena mereka sudah disatukan dalam wadah yang bernama jama’ah dan nama itu tertutupi dengan yang namanya Nasionalisme.

Kalau Eropa, mereka memiliki Uni Eropa. Amerika membuat aliansi yang bernama NAFTA, untuk kawasan Amerika Utara, Kanada, dan Amerika Latin. Atau APEC pada kawasan PASIFIK. Masalah ini yang melatari keinginan bersatu untuk umat islam seluruhnya dibawah naungan OKI.

Rasa nasionalisme yang melatari kesemuanya. Islam sebagai landasan terbentuknya nasionalisme. Rasa satu hati, satu rasa, dan satu keinginan inilah yang menyebabkan terjadinya suatu kekuatan yang dulu pernah jaya selama satu millennium. Menumbuhkan islam sebagai satu-satunya agama yang terbesar di dunia. Rasa Nasionalisme yang besar inilah yang membuat satu kekuatan islam yang sebenarnya masih tersimpan sampai sekarang. Dan belum terejawantahkan.

Wallahu a’lam.

Comments

Popular posts from this blog

Prinsip 1 # Seri Ushul 'Isyrin

"Islam adalah sistem yang menyeluruh yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan ummat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih." - pasal 1 Ushul 'Isyrin - Terlihat nampak jelas oleh kita, bahwa sesunguhnya pemikiran yang dibawa oleh Hasan al-Banna ini ketika diawal adalah memahamkan islam terlebih dahulu. Hasan al-Banna dengan berbagai intepretasinya, menegaskan bahwa sesungguhnya kehancuran islam adalah pemahaman yang lemah terhadap islam. Makanya disini beliau mengawali langkahnya dengan Syumuliyatul Islam. Kebencian orang-orang yang benci terhadap islam semakin membesar. Oleh karena itu, orang-orang yang benci terhadap islam menyeru agar orang-orang islam jauh terhadap agama

Prinsip 3 # Seri Ushul 'Isyrin

"Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah (kesungguhan dalam beribadah) adalah cahaya dan kenikmatan yang ditanamkan Allah di dalam hati hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sedangkan ilham, lintasan perasaan, ketersingkapan (rahasia alam), dan mimpi bukanlah bagian dari dalil hukum-hukum syariat. Ia bisa juga dianggap sebagai dalil dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan teks-teksnya" Ustadz Hasan al-Banna dalam pasal ini seolah mengatakan kepada kita bahwa kesempurnaan islam kita dengan berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah mempunyai efek samping yaitu Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah (kesungguhan dalam beribadah). Jadi Iman yang tulus, ibadah yang benar, mujahadah adalah efek samping dari kesempurnaan islam kita dengan landasan al-Quran dan as-Sunnah. Beliau juga menambahi bahwa Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah adalah cahaya bagi orang-orang yang keislamannya sudah sempurna. Ia juga sebuah kenikmatan yang ditan

Prinsip 10 # Seri Ushul Isyrin

Ma'rifah kepada Allah dengan sikap tauhid dan penyucian(dzat)-Nya adalah setinggi-tinggi tingkatan aqidah islam. Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan hadits-hadits shahih tentangnya serta berbagai keterangan mutasyabihat yang berhubungan dengannya kita cukup mengimaninya sebagaimana adanya, tanpa ta'wil dan ta'thil dan tidak juga memperuncing perbedaan yang terjadi diantara para ulama. Kita mencukupkan diri dengan keterangan yang ada, sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya mencukupkan diri dengannya. "Orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami (Ali-Imron : 7)'" Permasalahan dalam pasal 10 ini adalah tentang penafsiran kepada ma'rifat kepada Allah. Permasalahan ini muncul ketika mulai bermunculan aliran-aliran aqidah dalam islam, mulai dari qadariyah yang sepenuhnya percaya adanya takdir Allah dan mereka percaya bahwa segala sesuatu itu skenarionya suda