Skip to main content

Membumikan Al-Quran

Istilah ‘membumikan al-quran’ ini pernah dipakai oleh Quraish Shihab dalam sebuah bukunya. Buku seorang pemikir besar tentunya sangat memiliki kredibilitas yang besar juga. Sehingga, ‘membumikan al-quran’ ini sangat mungkin digemari oleh beberapa kalangan. Sebenarnya, saya tidak ingin mengkritisi dari buku itu. Dan juga bukan untuk menjiplak. Hanya saja, judulnya yang membuat saya berpikir untuk menuliskannya kembali.
‘Membumikan Al-Quran’ sebenarnya adalah bagaimana mentransformasikan nilai-nilai al-quran ini di dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita sebagai keluarga, bagaimana memposisikan al-quran ini di tengah-tengah komunitas sosial yang terkecil sebagaimana al-quran telah mengajarkan kepada kita untuk berbakti kepada orang tua, bagaimana kita menyayangi adik-adik kita. Sehingga bisa tercipta suatu tatanan yang dimana bisa disebut dengan Keluarga Qur’ani. Kalau kita memposisikan al-quran di dalam masyarakat adalah sebagaimana nantinya, al-quran ini menjadi suatu dasar dalam mensukseskan kehidupan yang beragam tapi memiliki satu hati yaitu Ukhuwwah.
Dalam masyarakat, jika memang benar telah ‘membumikan al-quran’ secara benar, maka tidak akan ada bentrok dengan masyarakat minoritas. Karena di dalam Al-quran mengandung suatu perjanjian yang damai. Dimana tidak ada pertumpahan darah sedikit pun. Dan output yang dihasilkan oleh sebuah masyarakat yang telah ‘membumikan al-quran’ akan menjadi Masyarakat Madani.
Dan kini, bagaimana memposisikan al-quran ini di dalam tatanan yang lebih besar lagi yaitu negara. Output yang diberikan tentu sudah jelas. Dan itu tertera dalam surat Saba’ yaitu bagaimana nantinya Al-Quran ini memiliki andil besar dalam pembentukan Baldatun Thoyyibatun wa Rabbul Gafur. ‘Membumikan Al-Quran’ kalau kita turunkan menjadi suatu hal yang tekstual menuju hal yang konseptual. Bagaimana yang tadinya al-quran ini hanyalah sebuah tekstual dan kemudian diterjemahkan ke dalam konsep. Dan hal ini yang masih menjadi perbincangan hingga sekarang.

Kalau diterjemahkan secara harfiahnya adalah ‘kaifa nata’ammul ma’a al-Quran’ yang artinya bagaimana kita berinteraksi dengan al-quran. Inilah prosesnya yang nanti outputnya adalah pribadi profesional, keluarga Qur’ani, masyarakat madani, dan Baldatun Thoyibatun wa Rabbul Gafur. Dan tentu yang namanya proses tidaklah cepat, ia butuh waktu yang lebih dari satu hari saja. Tapi, begitu ia sukses maka ia akan meledakkan suatu hasil yang sangat memuaskan. Lalu, bagaimana proses kita ‘membumikan al-Quran’ ?
Yang pertama kali adalah membacanya dengan tartil. Karena dalam bacaan al-quran dengan tartil itu sanggup menghidupkan hati yang mati.
Yang kedua adalah memahami artinya. Karena dengan memahami arti al-Quran, maka setiap apa yang kita kerjakan menjadi jelas sejelas matahari di siang bolong. Artinya kita memiliki suatu visi yang jelas.
Yang ketiga adalah mentadabburinya. Di fase ini, al-quran sudah memulai mentransformasikan nilai-nilai kebenarannya. Ketika sudah memulai berpikir, maka untuk memulai akan semakin mudah.
Yang keempat adalah mengamalkannya. Sahabat Umar r.a sering bertanya kepada rasulullah mengenai wahyu yang tiap kali turun. Mungkin ini tidak terjadi pada umar saja, tapi seluruh sahabat. Ketika wahyu turun, maka sahabat umar ini bertanya : Wahai rasul, sudahkah ayat ini menjadi kepribadian saya ? Ketika sudah mendarah daging dalam hati, membumikan al-quran ini sangat mudah. Ini puncak dari transformasi ‘membumikan al-Quran’. Memang tidak banyak orang yang sanggup ke level ini. Karena nanti nasibnya tentu akan seperti apa yang akan dihadapi oleh Muhammad SAW ketika masih di Makkah. Dan sebenarnya ini juga menjadi suatu karakteristik kebaikan bahwa yang namanya kebaikan itu selalu memiliki tiga hal karekteristik ini. Thulut thariq (panjangnya jalan), Katsirul ‘aqabat (banyak timpaan), dan qilatur rijal (sedikit orangnya). Sehingga wajar kalau hingga sekarang untuk ‘membumikan al-Quran’ lumayan susah, karena tidak lain adalah musuh dari ‘membumika al-Quran’ itu sendiri adalah umat islam. Tapi selama harapan itu belum padam, maka Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya yang menolong agama Allah. Intanshurullaha yanshur lakum wa yutsabbit aqdamakum.
Wallahu a’lam.

Comments

Popular posts from this blog

Prinsip 1 # Seri Ushul 'Isyrin

"Islam adalah sistem yang menyeluruh yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan ummat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih." - pasal 1 Ushul 'Isyrin - Terlihat nampak jelas oleh kita, bahwa sesunguhnya pemikiran yang dibawa oleh Hasan al-Banna ini ketika diawal adalah memahamkan islam terlebih dahulu. Hasan al-Banna dengan berbagai intepretasinya, menegaskan bahwa sesungguhnya kehancuran islam adalah pemahaman yang lemah terhadap islam. Makanya disini beliau mengawali langkahnya dengan Syumuliyatul Islam. Kebencian orang-orang yang benci terhadap islam semakin membesar. Oleh karena itu, orang-orang yang benci terhadap islam menyeru agar orang-orang islam jauh terhadap agama

Prinsip 5 # Seri Ushul 'Isyrin

"Pendapat imam atau wakilnya tentang sesuatu yang tidak ada teks hukumnya, tentang sesuatu yang mengandung ragam interpretasi, dan tentang sesuatu yang membawa kemaslahatan umum bisa diamalkan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah umum syariat. Ia mungkin berubah seiring dengan perubahan situasi, kondisi, dan tradisi setempat. Yang prinsip, ibadah itu diamalkan dengan kepasrahan total tanpa mempertimbangkan makna. Sedangkan dalam urusan selain ibadah (adat istiadat) maka harus mempertimbangkan maksud dan tujuannya." Dalam pasal yang kelima ini, Hasan al-Banna ingin mengatakan bahwa semua pendapat imam yang tidak ada teks hukumnya boleh kita amalkan jika memang itu membawa kemaslahatan ummat. Dari sini juga, semua manusia bisa menggunakan ijtihadnya masing-masing. Jadi dalam mengambil keputusan yang didalamnya tidak mengandung atau tidak ada dalil sebagai landasan hukumnya, maka kita boleh mengambil pendapat imam yang kita yakini atau kita punya ijtihad sendiri.

Prinsip 2 # Seri Ushul 'Isyrin

"Al-Quran yang mulia dan sunnah Rasul yang suci adalah tempat kembali setiap muslim untuk memahami hukum-hukum Islam. Ia harus memahami Al-Quran sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, tanpa takalluf (memaksakan diri) dan ta'asuf (serampangan). Selanjutnya ia memahami sunnah suci melalui rijalul hadits (perawi hadits) yang terpercaya." Pasal yang kedua ini, Ustadz Hasan al-Banna memberikan tentang landasan berpikir manusia. Memberikan landasan tentang kesempurnaan Islam. Setelah kita memahami kesempurnaan Islam, maka seyogyanya kita juga harus memahami landasan kenapa kita harus sempurna islam kita. Karena sesungguhnya, dua kitab itulah yang menjadikan Islam ini jauh lebih sempurna ketimbang agama yang lainnya. Ajarannya yang suci tidak lepas dari peran kedua kitab ini. Kitab ini juga yang menjadi wasiat Rasulullah ketika akan meninggal. Adakah yang lebih berharga daripada al-Quran dan as-Sunnah ketika rasulullah wafat ? Allah berfirman dalam surat an-Nisa : 59