Istilah ‘membumikan al-quran’ ini pernah dipakai oleh Quraish Shihab dalam sebuah bukunya. Buku seorang pemikir besar tentunya sangat memiliki kredibilitas yang besar juga. Sehingga, ‘membumikan al-quran’ ini sangat mungkin digemari oleh beberapa kalangan. Sebenarnya, saya tidak ingin mengkritisi dari buku itu. Dan juga bukan untuk menjiplak. Hanya saja, judulnya yang membuat saya berpikir untuk menuliskannya kembali.
Dalam masyarakat, jika memang benar telah ‘membumikan al-quran’ secara benar, maka tidak akan ada bentrok dengan masyarakat minoritas. Karena di dalam Al-quran mengandung suatu perjanjian yang damai. Dimana tidak ada pertumpahan darah sedikit pun. Dan output yang dihasilkan oleh sebuah masyarakat yang telah ‘membumikan al-quran’ akan menjadi Masyarakat Madani. Dan kini, bagaimana memposisikan al-quran ini di dalam tatanan yang lebih besar lagi yaitu negara. Output yang diberikan tentu sudah jelas. Dan itu tertera dalam surat Saba’ yaitu bagaimana nantinya Al-Quran ini memiliki andil besar dalam pembentukan Baldatun Thoyyibatun wa Rabbul Gafur. ‘Membumikan Al-Quran’ kalau kita turunkan menjadi suatu hal yang tekstual menuju hal yang konseptual. Bagaimana yang tadinya al-quran ini hanyalah sebuah tekstual dan kemudian diterjemahkan ke dalam konsep. Dan hal ini yang masih menjadi perbincangan hingga sekarang.
Kalau diterjemahkan secara harfiahnya adalah ‘kaifa nata’ammul ma’a al-Quran’ yang artinya bagaimana kita berinteraksi dengan al-quran. Inilah prosesnya yang nanti outputnya adalah pribadi profesional, keluarga Qur’ani, masyarakat madani, dan Baldatun Thoyibatun wa Rabbul Gafur. Dan tentu yang namanya proses tidaklah cepat, ia butuh waktu yang lebih dari satu hari saja. Tapi, begitu ia sukses maka ia akan meledakkan suatu hasil yang sangat memuaskan. Lalu, bagaimana proses kita ‘membumikan al-Quran’ ?
Yang pertama kali adalah membacanya dengan tartil. Karena dalam bacaan al-quran dengan tartil itu sanggup menghidupkan hati yang mati.
Yang kedua adalah memahami artinya. Karena dengan memahami arti al-Quran, maka setiap apa yang kita kerjakan menjadi jelas sejelas matahari di siang bolong. Artinya kita memiliki suatu visi yang jelas.
Yang ketiga adalah mentadabburinya. Di fase ini, al-quran sudah memulai mentransformasikan nilai-nilai kebenarannya. Ketika sudah memulai berpikir, maka untuk memulai akan semakin mudah.
Yang keempat adalah mengamalkannya. Sahabat Umar r.a sering bertanya kepada rasulullah mengenai wahyu yang tiap kali turun. Mungkin ini tidak terjadi pada umar saja, tapi seluruh sahabat. Ketika wahyu turun, maka sahabat umar ini bertanya : Wahai rasul, sudahkah ayat ini menjadi kepribadian saya ? Ketika sudah mendarah daging dalam hati, membumikan al-quran ini sangat mudah. Ini puncak dari transformasi ‘membumikan al-Quran’. Memang tidak banyak orang yang sanggup ke level ini. Karena nanti nasibnya tentu akan seperti apa yang akan dihadapi oleh Muhammad SAW ketika masih di Makkah. Dan sebenarnya ini juga menjadi suatu karakteristik kebaikan bahwa yang namanya kebaikan itu selalu memiliki tiga hal karekteristik ini. Thulut thariq (panjangnya jalan), Katsirul ‘aqabat (banyak timpaan), dan qilatur rijal (sedikit orangnya). Sehingga wajar kalau hingga sekarang untuk ‘membumikan al-Quran’ lumayan susah, karena tidak lain adalah musuh dari ‘membumika al-Quran’ itu sendiri adalah umat islam. Tapi selama harapan itu belum padam, maka Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya yang menolong agama Allah. Intanshurullaha yanshur lakum wa yutsabbit aqdamakum.
Wallahu a’lam.
Comments
Post a Comment
thank's for your comentar,bro !!!