Skip to main content

Hakikat Nilai Kesejahteraan

Sebelum tulisan ini dimulai, marilah kita sejenak bermimpi. Apa seandainya kalau uang itu seperti daun yang setiap hari tubuh dan berkembang dan kemudian rontok. Artinya, dengan mudah kita mengambil uang yang seperti daun itu. Ketika telah jatuh ke tanah, uang tersebut kita ambil. Dan kemudian muncul lagi uang-uang muda. Begitu mudahnya mencari uang. Dan coba kita bayangkan, kalau itu juga terjadi pada orang-orang yang dalam kapasitasnya bisa dibilang dibawah orang kaya, tersebut menanam pohon uang. Mungkinkah kita akan membayangkan nantinya tidak akan ada orang miskin, betul begitu ? Mungkin ya untuk sekarang ini, namun apakah dengan banyaknya uang yang diperoleh dengan mudahnya akan membawa kebermanfaatan yang sangat signifikan. Artinya begini, dengan banyaknya uang dan dengan mudahnya uang diambil, akankah kesejahteraan bisa terjadi dengan mudahnya kita mengambil uang ? Itulah pertanyaan yang akan menggiring kita ke dalam inti pembahasan kita.
Sekarang kita melihat realita, kita bisa melihat orang-orang yang mungkin dilihat dari segi kapasitas uangnya sangat lebih dari cukup. Benarkah dengan uang yang lebih dari cukup mampu membawa mereka dan keluarga mereka ke dalam kesejahteraan ? Dan mungkin juga kita melihat di pinggiran kota ada sebuah keluarga yang dilihat dari kapasitas yang sama, mereka sama sekali tidak punya apa-apa. Apakah mereka tidak sejahtera karena mereka tidak punya uang apa-apa atau materi yang ada ? Marilah disini kita merenung.
Orang yang memiliki kapasitas materi yang sangat lebih dari cukup mungkin juga ada yang tidak sejahtera. Sekarang, apa makna dari sejahtera (welfare) ? Makna sejahtera adalah keadaan dimana setiap orang itu bisa merasakan nyaman, tentram, dan damai dalam komunitasnya. Kalau kita melihat, atau saksikan orang-orang yang memiliki materi yang lebih, terkadang justru malah tidak sejahtera. Karena apa ? karena harta yang mereka punya senantiasa ada yang mengincar. Karena orang yang memiliki materi lebih banyak cenderung broken home, mengapa saya berani mengatakan begitu ? karena sekali lagi, mereka sudah gila terhadap uang sehingga keluarga yang mereka punya tidak begitu diperhatikan. Bagi mereka kesejahteraan adalah uang
Sedangkan, orang yang memiliki materi yang sangat kurang dari cukup, mereka hanya hidup di pinggiran kota dan jauh dari teknologi yang semakin pesat. Akan tetapi, hidup mereka selalu dalam senyuman, jika materi datang kepada mereka, mereka tidaklah silau dengan hal tersebut. Ketika materi tidak datang, mereka tidaklah bersedih. Bagi mereka kesejahteraan bukan hanya bicara uang. Mereka bisa tertawa dalam kebersamaan yang memiliki nasib sama mungkin bisa sejahtera.
Sekarang, dari keduanya, apakah benar kesejahteraan bisa dinilai dari materi ? Kita mungkin bisa memberi satu conclusion bahwa dasar dari kesejahteraan adalah hidup yang qona’ah, bukan berarti menyerah dalam hidup. Kesabaran yang senatiasa ditanamkan. Mungkin itu adalah dasar dari kesejahteraan.
Wallahu a’lam

Comments

Popular posts from this blog

Prinsip 1 # Seri Ushul 'Isyrin

"Islam adalah sistem yang menyeluruh yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan ummat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih." - pasal 1 Ushul 'Isyrin - Terlihat nampak jelas oleh kita, bahwa sesunguhnya pemikiran yang dibawa oleh Hasan al-Banna ini ketika diawal adalah memahamkan islam terlebih dahulu. Hasan al-Banna dengan berbagai intepretasinya, menegaskan bahwa sesungguhnya kehancuran islam adalah pemahaman yang lemah terhadap islam. Makanya disini beliau mengawali langkahnya dengan Syumuliyatul Islam. Kebencian orang-orang yang benci terhadap islam semakin membesar. Oleh karena itu, orang-orang yang benci terhadap islam menyeru agar orang-orang islam jauh terhadap agama

Prinsip 3 # Seri Ushul 'Isyrin

"Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah (kesungguhan dalam beribadah) adalah cahaya dan kenikmatan yang ditanamkan Allah di dalam hati hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sedangkan ilham, lintasan perasaan, ketersingkapan (rahasia alam), dan mimpi bukanlah bagian dari dalil hukum-hukum syariat. Ia bisa juga dianggap sebagai dalil dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan teks-teksnya" Ustadz Hasan al-Banna dalam pasal ini seolah mengatakan kepada kita bahwa kesempurnaan islam kita dengan berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah mempunyai efek samping yaitu Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah (kesungguhan dalam beribadah). Jadi Iman yang tulus, ibadah yang benar, mujahadah adalah efek samping dari kesempurnaan islam kita dengan landasan al-Quran dan as-Sunnah. Beliau juga menambahi bahwa Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah adalah cahaya bagi orang-orang yang keislamannya sudah sempurna. Ia juga sebuah kenikmatan yang ditan

Prinsip 10 # Seri Ushul Isyrin

Ma'rifah kepada Allah dengan sikap tauhid dan penyucian(dzat)-Nya adalah setinggi-tinggi tingkatan aqidah islam. Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan hadits-hadits shahih tentangnya serta berbagai keterangan mutasyabihat yang berhubungan dengannya kita cukup mengimaninya sebagaimana adanya, tanpa ta'wil dan ta'thil dan tidak juga memperuncing perbedaan yang terjadi diantara para ulama. Kita mencukupkan diri dengan keterangan yang ada, sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya mencukupkan diri dengannya. "Orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami (Ali-Imron : 7)'" Permasalahan dalam pasal 10 ini adalah tentang penafsiran kepada ma'rifat kepada Allah. Permasalahan ini muncul ketika mulai bermunculan aliran-aliran aqidah dalam islam, mulai dari qadariyah yang sepenuhnya percaya adanya takdir Allah dan mereka percaya bahwa segala sesuatu itu skenarionya suda