Jasadnya boleh saja hilang atau bahkan mati, tapi semangatnya belumlah hilang. Saya rasa, inilah esensi dari para pahlawan yang telah meninggal. Orang-orang yang telah meninggal pada saat penjajahan dan masa-masa proklamasi adalah memang pantas untuk dijadikan sebagai pahlawan bangsa. Semangat mereka yang ditularkan kepada anak dan cucu mereka benar-benar menjalar di dalam hati mereka dan kemudian menggerakkan seluruh instrumen tubuh ini untuk semangat.
Hari pahlawan sendiri sebenarnya adalah kegigihan para arek-arek surabaya yang berani melawan Belanda hanya dengan bambu runcing. Kegigihan mereka tentu sebelumnya dibakar oleh salah seorang yang memiliki semangat anti-penjajahan yang waktu itu dikompori oleh Bung Tomo. Semangat untuk menyingkirkan penjajahan telah menyalur ke setiap arek-arek surabaya. Dengan pekikan “Allahu Akbar”, Bung Tomo mampu membuat surabaya bergelora.
Untuk saat ini dan hari ini, memang penjajah telah hilang. Karena sekarang penjajahan adalah salah satu bentuk penindasan dan pencorengan atas nama HAM. Akan tetapi, ada satu orang yang masih menjaga orisinalitas semangat para pahlawan. Siapakah satu orang itu ? MBAH MARIDJAN. Sebenarnya memang terkesan agak memaksakan, tapi ini memang sungguh. Peribahasa yang saya tulis diawal saya rasa juga cocok disematkan kepada orang ini. Jasadnya boleh saja mati, akan tetapi gelora semangatnya belumlah hilang. Semangatnya yang begitu gigih karena merasa bahwa merapi tidak akan meletus ( pada saat getaran seismik dan wedhus gembel yang masih tidak begitu hebat), sedangkan dari pihak negara menyuruh untuk meninggalkan tempat yang terdekat dengan kawasan berbahaya. Mbah Marijan dan beberapa orang tidak ingin pindah, dan akhirnya mereka menetap disana menemani Mbah Marijan sebagai juru kunci.
Semangat yang mampu ditularkan Mbah Marijan memang bagaikan setrum yang menyengat. Mbah Marijan mungkin punya satu motto hidup : hidup dan mati untuk merapi. Dan akhirnya Allah mungkin juga menjawab doanya tersebut. Mbah Marijan meninggal dalam bencana Merapi akhir ini. Mengejutkan memang, sosok yang “di-tua-kan” oleh masyarakat meninggal dalam keadaan sujud saat meletusnya gunung merapi.
Satu yang menjadi poin diatas, hari pahlawan dan mbah marijan saat ini harus menjadi penyemangat kita dalam kehidupan sehari-hari. Nasionalisme kita hari ini harus dibuktikan dengan itu. Ketika mereka semangat dalam menghadapi penjajah, maka sudah seharusnya, kita sebagai seorang yang nantinya merupakan sosok calon pahlawan harus semangat dalam menghadapi musuh-musuh abstrak kita. Saya meyakini, bahwa para pahlawan itu, selain mereka dihadapkan dengan musuh-musuh yang nyata, ternyata mereka juga harus berhadapan dengan musuh abstrak mereka. Rasa malas itulah yang harus mereka hadapi juga. Nah sekarang, musuh kita hanya satu saja, yaitu musuh abstrak yang seharusnya menjadi kendala bagi kita untuk menjadi sosok pahlawan.
Wallahu a’lam bissowab
Comments
Post a Comment
thank's for your comentar,bro !!!