"Khilaf dalam masalah furu'(cabang) hendaknya tidak menjadi faktor pemecah belah agama, tidak menyebabkan permusuhan, dan tidak menyebabkan kebencian. Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya, sementara itu tidak ada larangan melakukan studi ilmiah yang jujur terhadap persoalan khilafiyah dalam naungan kasih sayang dan saling membantu karena Allah untuk menuju kepada kebenaran. Semua itu tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik"
Dalam pasal kedelapan ini, ada beberapa poin yang bisa atau dapat kita ambil pelajaran darinya. Yang pertama : permasalahan khilafiyah yang kemudian tidak menjadi pemecah belah, permusuhan dan kebencian. yang kedua : Setiap mujtahid mendapatkan pahala atas apa yang telah di-ijtihad-kan. Yang ketiga : boleh untuk melakukan studi ilmiah yang jujur dalam masalah khilafiyah. Output dari ketiganya adalah tidak ada sikap egoisme dan fanatikisme.
Permasalahan khilafiyah tentu saja sudah menjadi bahan diskusi kita, baik di kelas maupun di ruangan kuliah sekalipun. Tentu ada beberapa hal yang kemudian tahu tentang bagaimana menyikapi perbedaan dalam masalah furu'iyah dan tentu ada juga yang sebenarnya paham, namun dirinya tidak paham dalam menyikapi masalah ini. Dan inilah yang kemudian harus dipahami. Mungkin, masyarakat luas di Indonesia ini masih dalam tahap yang kedua. Sehingga ketika mereka berdiskusi dan tidak ada penengah dalam hal ini, maka mereka sesungguhnya sudah terjerumus ke dalam hasutan syetan. Karena apa ? Karena hasil akhir dari diskusi itu nantinya hanya akan menimbulkan perpecahan dan terjadi class-isasi yang terasa terkotak-kotak. Golongan A bergaul dengan golongan A yang se-fikroh, golongan B bergaul dengan golongannya. Inilah yang kemudian Hasan al-Banna mewanti-wanti. Apakah kemudian kita tidak boleh membuka diskusi untuk porsi yang seperti ini ? Boleh, hanya saja kita harus lebih bersikap dewasa dan kemudian tidak terjadi pengkelasan masyarakat.
Prinsip dalam memahami masalah khilafiyah (perbedaan) adalah seperti apa yang dikatakan oleh Allah dalam surat al-Kafirun : Lakum diinukum waliya diin.. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Bagimu mazhabmu, bagiku mazhabku. Itu saja, selesai urusan. Jangan kemudian hanya berbeda pendapat, kita melupakan hal yang wajib yaitu menjaga persatuan dan kesatuan (baca : Ukhuwwah). Padahal,kan sudah jelas kalau dalam al-quran itu, Allah lebih menekankan kepada ukhuwwah ? Lalu adakah kemudian para sahabat menyikapi masalah khilafiyah ini juga dengan sikap kebencian dengan mazhab yang lain ? Khilafiyah dalam beribadah akan lebih baiknya mungkin kita serahkan kepad orang yang memang berkompeten dalam bidangnya. Dan tentu, merujuk dalam Pasal ke-6 mengatakan bahwa pendapat setiap orang boleh ditolak, boleh diterima.
"Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya". Seperti yang telah penulis jelaskan pada pasal-pasal awal, bahwa seorang mujtahid jika benar akan mendapatkan pahala dan ketika salah atau dalam mengutip sebuah hadits ternyata hadits itu dhaif, maka tidak ada dosa baginya, wallahu a'lam apakah kemudian dia juga mendapatkan pahala atas apa yang diijtihadkan ataukah hanya sebatas tidak ada dosa atasnya. Karena sudah jelas permasalahan disini, bahwa ragam interpretasi dari perkataan Allah (al-Quran) yang bersifatnya masih global dan perkataan Nabi (hadits) pasti akan banyak. Sehingga tidak dapat kita pungkiri lagi, bahwa wajar kalau kemudian muncul mazhab-mazhab dalam ibadah. Sejenak kita merefleksikan diri kita dan kemudian kita kembali pada zaman penjajahan. Bagaimana para ulama bisa berkumpul, bersatu padu mulai dari ulama wahabbi hingga ulama nasionalis, misalkan. Mereka kemudian berkumpul membentuk organisasi M.I.A.I (Majlis Islam A'la Indonesia). Majelis ini sungguh sangat dihormati oleh semua kalangan masayrakat. Dan majelis ini, adalah perkumpulan dari ulama-ulama yang membahas tentang permasalahan khilafiyah. Lalu bagaimana dengan potret MUI (Majelis Ulama Indonesia) sekarang ini ? Sebagian fatwa-fatwanya tidak didengarkan oleh masyarakat luas. Inilah yang membuat umat islam mundur dari kejayaan. Masyarakat Islam Indonesia tidak lagi mendengarkan arahan atau fatwa-fatwa MUI. Akhirnya, fungsi MUI hanya terlihat sangat sempit dari yang sebelumnya.
"Sementara itu tidak ada larangan untuk melakukan studi ilmiah yang jujur terhadap persoalan khilafiyah dalam naungan kasih sayang dan saling membantu karena allah untuk menuju kepada kebenaran". Studi ilmiah yang seperti inilah yang akan membawa angin segar bagi kita semua. Kenapa angin segar ? Karena, dengan studi ilmiah akan terlihat lebih jelas semua permasalahan-permasalahan yang ada di dalam elemen masyarakat. Kemudian disini mengkaji tentang perbandingan mazhab dan satu kasus diselesaikan tidak hanya dengan sudut pandang satu mazhab saja, akan tetapi beberapa mazhab yang memang kuat di masyarakat luas. Asalkan ada syaratnya yaitu ia jujur terhadapa persoalan khilafiyah. Artinya bahwa ketika melakukan studi ilmiah ini, ia tidak memojokkan mazhab tertentu. Dan memang sengaja untuk menunjukkan bahwa mazhab-mazhab yang lain itu tidak salah. Karena mereka sudah punya dalilnya. Maka sangat tidak etis sekali kalau kita menjelek-jelekan mazhab lainnya.
"Semua itu tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik". Inilah output yang diinginkan Hasan al-Banna dalam pasal ini. Dan mungkin implementasinya harus kepada yang lain. Disini sudah jelas, bahwa sikap egois dan fanatik akan membawa kepada perpecahan, permusuhan, dan perpecah-belahan. Kalau semua ketika kita dalam melakukan sebuah diskusi yang mungkin menelaah tentang khilafiyah, sifat inilah (tidak egois dan tidak fanatik) yang pertama kali harus kita tanamkan jikalau kita ingin berdiskusi ringan.
Wallahu a’lam, wa Huwal-Muwaffiq ilaa aqwamith-thariiq, wal -Haadii ilaa sawaa-issabiil
Dalam pasal kedelapan ini, ada beberapa poin yang bisa atau dapat kita ambil pelajaran darinya. Yang pertama : permasalahan khilafiyah yang kemudian tidak menjadi pemecah belah, permusuhan dan kebencian. yang kedua : Setiap mujtahid mendapatkan pahala atas apa yang telah di-ijtihad-kan. Yang ketiga : boleh untuk melakukan studi ilmiah yang jujur dalam masalah khilafiyah. Output dari ketiganya adalah tidak ada sikap egoisme dan fanatikisme.
Permasalahan khilafiyah tentu saja sudah menjadi bahan diskusi kita, baik di kelas maupun di ruangan kuliah sekalipun. Tentu ada beberapa hal yang kemudian tahu tentang bagaimana menyikapi perbedaan dalam masalah furu'iyah dan tentu ada juga yang sebenarnya paham, namun dirinya tidak paham dalam menyikapi masalah ini. Dan inilah yang kemudian harus dipahami. Mungkin, masyarakat luas di Indonesia ini masih dalam tahap yang kedua. Sehingga ketika mereka berdiskusi dan tidak ada penengah dalam hal ini, maka mereka sesungguhnya sudah terjerumus ke dalam hasutan syetan. Karena apa ? Karena hasil akhir dari diskusi itu nantinya hanya akan menimbulkan perpecahan dan terjadi class-isasi yang terasa terkotak-kotak. Golongan A bergaul dengan golongan A yang se-fikroh, golongan B bergaul dengan golongannya. Inilah yang kemudian Hasan al-Banna mewanti-wanti. Apakah kemudian kita tidak boleh membuka diskusi untuk porsi yang seperti ini ? Boleh, hanya saja kita harus lebih bersikap dewasa dan kemudian tidak terjadi pengkelasan masyarakat.
Prinsip dalam memahami masalah khilafiyah (perbedaan) adalah seperti apa yang dikatakan oleh Allah dalam surat al-Kafirun : Lakum diinukum waliya diin.. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Bagimu mazhabmu, bagiku mazhabku. Itu saja, selesai urusan. Jangan kemudian hanya berbeda pendapat, kita melupakan hal yang wajib yaitu menjaga persatuan dan kesatuan (baca : Ukhuwwah). Padahal,kan sudah jelas kalau dalam al-quran itu, Allah lebih menekankan kepada ukhuwwah ? Lalu adakah kemudian para sahabat menyikapi masalah khilafiyah ini juga dengan sikap kebencian dengan mazhab yang lain ? Khilafiyah dalam beribadah akan lebih baiknya mungkin kita serahkan kepad orang yang memang berkompeten dalam bidangnya. Dan tentu, merujuk dalam Pasal ke-6 mengatakan bahwa pendapat setiap orang boleh ditolak, boleh diterima.
"Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya". Seperti yang telah penulis jelaskan pada pasal-pasal awal, bahwa seorang mujtahid jika benar akan mendapatkan pahala dan ketika salah atau dalam mengutip sebuah hadits ternyata hadits itu dhaif, maka tidak ada dosa baginya, wallahu a'lam apakah kemudian dia juga mendapatkan pahala atas apa yang diijtihadkan ataukah hanya sebatas tidak ada dosa atasnya. Karena sudah jelas permasalahan disini, bahwa ragam interpretasi dari perkataan Allah (al-Quran) yang bersifatnya masih global dan perkataan Nabi (hadits) pasti akan banyak. Sehingga tidak dapat kita pungkiri lagi, bahwa wajar kalau kemudian muncul mazhab-mazhab dalam ibadah. Sejenak kita merefleksikan diri kita dan kemudian kita kembali pada zaman penjajahan. Bagaimana para ulama bisa berkumpul, bersatu padu mulai dari ulama wahabbi hingga ulama nasionalis, misalkan. Mereka kemudian berkumpul membentuk organisasi M.I.A.I (Majlis Islam A'la Indonesia). Majelis ini sungguh sangat dihormati oleh semua kalangan masayrakat. Dan majelis ini, adalah perkumpulan dari ulama-ulama yang membahas tentang permasalahan khilafiyah. Lalu bagaimana dengan potret MUI (Majelis Ulama Indonesia) sekarang ini ? Sebagian fatwa-fatwanya tidak didengarkan oleh masyarakat luas. Inilah yang membuat umat islam mundur dari kejayaan. Masyarakat Islam Indonesia tidak lagi mendengarkan arahan atau fatwa-fatwa MUI. Akhirnya, fungsi MUI hanya terlihat sangat sempit dari yang sebelumnya.
"Sementara itu tidak ada larangan untuk melakukan studi ilmiah yang jujur terhadap persoalan khilafiyah dalam naungan kasih sayang dan saling membantu karena allah untuk menuju kepada kebenaran". Studi ilmiah yang seperti inilah yang akan membawa angin segar bagi kita semua. Kenapa angin segar ? Karena, dengan studi ilmiah akan terlihat lebih jelas semua permasalahan-permasalahan yang ada di dalam elemen masyarakat. Kemudian disini mengkaji tentang perbandingan mazhab dan satu kasus diselesaikan tidak hanya dengan sudut pandang satu mazhab saja, akan tetapi beberapa mazhab yang memang kuat di masyarakat luas. Asalkan ada syaratnya yaitu ia jujur terhadapa persoalan khilafiyah. Artinya bahwa ketika melakukan studi ilmiah ini, ia tidak memojokkan mazhab tertentu. Dan memang sengaja untuk menunjukkan bahwa mazhab-mazhab yang lain itu tidak salah. Karena mereka sudah punya dalilnya. Maka sangat tidak etis sekali kalau kita menjelek-jelekan mazhab lainnya.
"Semua itu tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik". Inilah output yang diinginkan Hasan al-Banna dalam pasal ini. Dan mungkin implementasinya harus kepada yang lain. Disini sudah jelas, bahwa sikap egois dan fanatik akan membawa kepada perpecahan, permusuhan, dan perpecah-belahan. Kalau semua ketika kita dalam melakukan sebuah diskusi yang mungkin menelaah tentang khilafiyah, sifat inilah (tidak egois dan tidak fanatik) yang pertama kali harus kita tanamkan jikalau kita ingin berdiskusi ringan.
Wallahu a’lam, wa Huwal-Muwaffiq ilaa aqwamith-thariiq, wal -Haadii ilaa sawaa-issabiil
Comments
Post a Comment
thank's for your comentar,bro !!!