Skip to main content

Prinsip 12 #Seri Ushul ‘Isyrin

“Perbedaan pendapaat dalam masalah bid’ah idhafiyah, bid’ah tarkiyah, dan iltizam terhadap ibadah mutlaqah (yang tidak ditetapkan cara maupun waktunya) adalah perbedaan masalah fiqh. Setiap orang mempunyai pendapatnya sendiri. Namun tidak mengapa jika dilakukan penelitian untuk mendapatkan hakekatnya dengan dalil dan bukti-bukti”


Disini kemudian Hasan al Banna memberikan penjabaran-penjabaran tentang macam-macam bid’ah yang menjadi perbedaan diantara kita. Hasan al Banna ingin menjelaskan kepada kita bahwa bid’ah-bid’ah yang diatas itu sebenarnya adalah boleh, namun ada beberapa pertentangan dari para ulama. Sikap kita tentu harus kepada kembali kepada pasal 5, yaitu tidak mengolok-olok bahkan menjustifikasi kafir kepada orang yang melakukan bid’ah di atas. Sebelum kita berbicara lebih lanjut, agar kemudian tidak terjerumus kepada prasangka jelek, alangkah baiknya jika kita pahami makna dari istilah-istilah diatas beserta contoh dari macam bid’ah diatas.

Bid’ah Idhafiyah, apa yang dimaksud dengan bid’ah tersebut ? Mengapa maknanya adalah bid’ah penambahan ? Ya, secara bahasa memang bermakna bid’ah tambahan. Pada zaman dahulu (zaman nabi), ada barang yang tidak ada kemudian di zaman kita muncul sesuatu yang tidak ada pada zaman dahulu (zaman nabi). Seperti contoh; adanya mobil, adanya motor, adanya sendok. Bid’ah idhafiyah sendiri dalam istilah adalah setiap amalan ibadah yang pada prinsipnya disyariatkan, namun berbeda dalam tata cara pelaksanaannya. Jika ada dalil yang digunakan terdapat keterkaitan dengan tata cara pelaksanaannya, maka itu bukan bid’ah. Namun, jika tidak ada dalil, maka itu disebut Bid’ah Idhafiyah. Contoh seperti; wudhu. Dalam al-quran juga disebutkan bahwa kalau ingin sholat kita harus berwudhu. Nah, untuk tata cara berwudhu juga sudah dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6. Disitu dijelaskan mulai awal berwudhu hingga akhir wudhu itu seperti apa. Maka ini bukan bid’ah.


Namun beda lagi dengan, misalkan adalah membaca al fatihah untuk Muhammad (alaa hadratan Nabi Muhammad…. Al fatihah). Dalam hadits maupun quran menganjurkan untuk memperbanyak al fatihah. Namun tata cara yang ditujukan kepada nabi ini tidak ada dalam syariat atau quran maupun hadits, maka ini disebut Bid’ah Idhafiyah. Hal ini juga yang masih dipertentangkan oleh beberapa ulama. Ada ulama yang membolehkan, ada juga yang tidak. Misalkan lagi adalah dzikir dan doa setelah sholat wajib berjamaah dan dengan suara keras. Dzikir dan doa memang ada syariatnya, namun tata caranya dengan dikeraskan memang tidak ada syariatnya (lebih utama dzikir dan doa dengan diam, karena Allah Maha Mendengar). Ini juga yang disebut dengan Bid’ah Idhafiyah. Atau seperti yang dilakukan Umar bin Khattab, yaitu menghimpun sholat tarawih bersama-sama. Awalnya, rasul tidak menyuruh tarawih bersama-sama. Namun oleh Umar dihimpun hingga sekarang sholat tarawih berjamaah. Shalat Tarawih memang ada syariatnya (yang dilakukan Nabi), namun berjamaah atau tata cara shalat tarawih berjamaah tidak pernah ada dalam syariatnya Nabi. Ini juga yang dimaksudkan dengan Bid’ah Idhafiyah. 


Mungkin masih banyak lagi bid’ah-bid’ah Idhafiyah yang beredar di kalangan kita. Karena sesungguhnya zaman ini yang tidak memungkinkan untuk menetapkan tata cara yang baku. Namun bagaimana pun jika tata cara sudah ada dan disyariatkan oleh Allah maupun Nabi, kita yakin tata cara itulah yang terbaik yang tak akan lekang oleh waktu. Dan tak akan terhapus oleh masa. Namun jika tata cara yang tidak diajarkan oleh Nabi maupun Allah mungkin nanti akan mengalami perubahan-perubahan, asalkan tidak menghapus prinsip syariatnya.


Lalu apa yang dimaksud dengan Bid’ah Tarkiyah ? Bid’ah Tarkiyah adalah yaitu meninggalkan suatu amalan yang dibolehkan dan disunahkan. Jadi dalam bid’ah ini kita meninggalkan sesuatu yang mubah atau bahkan sesuatu yang disunahkan. Nah, seperti apa contoh dari Bid’ah Tarkiyah ini ? Misalkan adalah ada seseorang yang tidak mau menikah selama hidupnya karena ia ingin hidupnya ia dedikasikan kepada Allah. Secara syar’I, nikah adalah disunahkan. Namun ia menghalangi dirinya sendiri untuk tidak menikah selama ia hidup. Kalau dalam contoh kehidupan kita sehari-hari, memang jarang ditemui kasus bid’ah tarkiyah.


Dan kemudian maksud dari iltizam terhadap ibadah mutlaqah (yang tidak ditetapkan cara maupun waktunya) adalah seorang muslim iltizam atau terus menerus melakukan beribadah tertentu dan memiliki landasan syariatnya. Akan tetapi, ada penentuan tempat, waktu, dan jumlah tertentu serta berulang-ulang, sesuatu yang tidak dicontohkan Rasul saw. Seperti misalnya adalah membaca Tahlil, Tasbih, dan Tahmid dengan jumlah tertentu, waktu, dan tempat tertentu. Kemudian membaca Surat Al-Waqiah dengan jumlah tertentu dan dalam waktu yang tertentu saja. Ziarah kubur pada waktu tertentu saja. Melakukan Maulid Nabi dan menceritakan sirahnya karena kecintaan kita kepada Nabi. Jadi segala sesuatu yang diperselisihkan para ulama dan memiliki landasan hukum, baik secara khusus maupun umum, bukanlah bid'ah yang sesat, seperti dalam bid’ah-bid’ah yang tertera diatas. Akan tetapi, masalah khilafiyah. Sehingga perbedaan ini tidak menimbulkan perpecahan dan merusak ukhuwah Islamiyah.


Namun, jika kita ingin melakukan penelitian terhadap hal-hal yang tadi untuk mendapatkan hakekat dalil-dalil dan bukti-buktinya. Maka dalam hal ini, kita sebagai muslim jangan sampai terlalu cepat membid’ahkan sesuatu yang tidak kita tahu. Banyak orang-orang yang belum paham ilmu dan tidak tahu ilmunya dengan seenaknya membid’ahkan suatu amalan. Karena para ulama menyebutkan bahwa bid'ah memiliki berbagai macam tingkatan dan tidak memiliki status hukum yang sama. Berkata Ibnu Hazm, "Bid'ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak ada dalam Al Quran dan sunah Rasulullah saw. Akan tetapi, ada yang pelaku bid'ah mendapat pahala dan dimaafkan karena tujuannya baik. Di antara bid'ah ada yang baik, yaitu sesuatu yang asli hukumnya mubah, sebagaimana yang diungkapkan Umar bin Khatab ketika mengumpulkan manusia untuk shalat Tarawih berjamaah dan beliau berkata, "Bid'ah yang baik adalah ini." Dan di antaranya ada yang tercela dan tidak dimaafkan pelakuknya, yaitu sesuatu yang terbukti ada kerusakannya.

Wallahu a’lam bisshowab.

Comments

Popular posts from this blog

Prinsip 1 # Seri Ushul 'Isyrin

"Islam adalah sistem yang menyeluruh yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan ummat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih." - pasal 1 Ushul 'Isyrin - Terlihat nampak jelas oleh kita, bahwa sesunguhnya pemikiran yang dibawa oleh Hasan al-Banna ini ketika diawal adalah memahamkan islam terlebih dahulu. Hasan al-Banna dengan berbagai intepretasinya, menegaskan bahwa sesungguhnya kehancuran islam adalah pemahaman yang lemah terhadap islam. Makanya disini beliau mengawali langkahnya dengan Syumuliyatul Islam. Kebencian orang-orang yang benci terhadap islam semakin membesar. Oleh karena itu, orang-orang yang benci terhadap islam menyeru agar orang-orang islam jauh terhadap agama

Prinsip 3 # Seri Ushul 'Isyrin

"Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah (kesungguhan dalam beribadah) adalah cahaya dan kenikmatan yang ditanamkan Allah di dalam hati hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sedangkan ilham, lintasan perasaan, ketersingkapan (rahasia alam), dan mimpi bukanlah bagian dari dalil hukum-hukum syariat. Ia bisa juga dianggap sebagai dalil dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan teks-teksnya" Ustadz Hasan al-Banna dalam pasal ini seolah mengatakan kepada kita bahwa kesempurnaan islam kita dengan berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah mempunyai efek samping yaitu Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah (kesungguhan dalam beribadah). Jadi Iman yang tulus, ibadah yang benar, mujahadah adalah efek samping dari kesempurnaan islam kita dengan landasan al-Quran dan as-Sunnah. Beliau juga menambahi bahwa Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah adalah cahaya bagi orang-orang yang keislamannya sudah sempurna. Ia juga sebuah kenikmatan yang ditan

Prinsip 10 # Seri Ushul Isyrin

Ma'rifah kepada Allah dengan sikap tauhid dan penyucian(dzat)-Nya adalah setinggi-tinggi tingkatan aqidah islam. Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan hadits-hadits shahih tentangnya serta berbagai keterangan mutasyabihat yang berhubungan dengannya kita cukup mengimaninya sebagaimana adanya, tanpa ta'wil dan ta'thil dan tidak juga memperuncing perbedaan yang terjadi diantara para ulama. Kita mencukupkan diri dengan keterangan yang ada, sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya mencukupkan diri dengannya. "Orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami (Ali-Imron : 7)'" Permasalahan dalam pasal 10 ini adalah tentang penafsiran kepada ma'rifat kepada Allah. Permasalahan ini muncul ketika mulai bermunculan aliran-aliran aqidah dalam islam, mulai dari qadariyah yang sepenuhnya percaya adanya takdir Allah dan mereka percaya bahwa segala sesuatu itu skenarionya suda