Skip to main content

::: Benturan Ideologi Santri dan Mahasiswa :::

Seorang santri di Indonesia adalah sosok yang tak bisa ditinggalkan begitu saja, ia adalah bagian dari sejarah Indonesia ini, mujahid nasional yang berani bertaruh jiwa dan raganya hanya untuk satu kemerdekaan indonesia. Semangatnya dalam berjuang menakuti semua penjajah yang pernah datang ke Indonesia, hingga Snouck Hurgronje belajar cara mengalahkan mereka.

Santri adalah bagian terunik yang pernah hidup di Indonesia, perjalanan hidupnya sangat lain dengan perjalanan hidup manusia-manusia indonesia yang belum pernah nyantri. Ketika berbicara masalah ukhuwwah, santrilah yang tau. Sebab, mereka sepenanggunan, tidur bersama, makan dalam kebersamaan, bahkan melakukan kejelekan pun juga dilakukan berlandaskan ukhuwwah. Itulah uniknya mereka.

Namun, ada satu pemahaman yang mengakar (baca: ideologi) di kalangan santri, yaitu sendiko dawuh kyai atau apapun kata kyainya santri akan tetap mengikuti. Seperti jaman Nabi Muhammad saw, ketika beliau menyuruh salah seorang sahabatnya, jawab seorang sahabatnya adalah sami’na wa atho’na (kami dengar dan kami laksanakan). Itu terjadi hingga RasuluLLAH wafat, setelah rasuluLLAH wafat, para sahabat yang ahli ilmu diberikan keluasan untuk menjadi seorang mujtahid. Artinya ada perintah yang langsung dilaksanakan dan ada perintah yang perintahnya itu masih global sehingga membutuhkan penafsiran yang banyak.

Fenomena sendiko dawuh kyai ini hingga sekarang masih berlaku. Dan ini tidak salah. Justru ini yang membuat santri itu patuh kepada kyainya. Dan karena kepatuhannya kepada kyai ini, terkadang tidak sedikit yang kemudian dia diangkat menjadi sekretaris pribadi, ajudan, atau bahkan mantu/besan dari kyai tersebut.

Itu tadi sekelumit kisah ideologi santri dengan sendiko dawuh kyai nya. Sekarang bagaimana jika santri tersbut masuk ke dalam sebuah universitas. Yang memahami bahwa tidak ada kebenaran yang absolute, tidak ada kata sendiko dawuh kyai lagi. Pemikiran di universitas yang benar-benar liberal. Semua orang berhak atas pemikirannya sendiri, semua orang berhak menguji hipotesisnya atas problematika yang dilihatnya. Dosen dalam hal ini mungkin kyai, dia hanya menjadi perantara, bukan yang memberi ilmu. Ilmu-ilmu yang berserakan di universitas tidak hanya milik dosen, tapi juga mahasiswa. Artinya disini, kebebasan berpikir dan kemerdekaan berpikir dan kebebasan berkehendak menjadi sebuah budaya. Jika ketiga hal tersebut tidak ada di mahasiswa, maka itu bukan mahasiswa yang selalu ingin berkehendak merdeka tanpa intimidasi darimanapun.

Benturan ideologi inilah yang kemudian hingga sekarang masih ada sebagian santri yang menjadi mahasiswa. Mereka dibingungkan ternyata sendiko dawuh kyainya sudah tidak berlaku di universitas. Beruntung, jika santri yang telah menjadi mahasiswa tersebut bisa menyesuaikan diri, artinya setiap perkataan dosennya masih bisa dicerna dengan bagus, tidak ‘dimakan mentah-mentah’. Lantas bagaimana jika santri yang menjadi mahasiswa dan belum menyesuaikan dirinya? Bisa jadi dia hidup dalam tekanan kehidupan, apa yang dikatan dosen dengan kyianya tidak sesuai. Mana yang harus diambilnya? Jadi perkataan salah seorang ulama mesir ada benarnya : “Setiap orang boleh diambil atau ditolak kata-katanya, kecuali Al-Ma’shum(RasuluLLAH) saw. Setiap yang datang dari kalangan salaf ra dan sesuai dengan Kitab serta Sunnah, maka harus kita terima. Jika tidak sesuai dengannya maka KitabuLLAH dan sunah Rasul-Nya lebih utama untuk diikuti.”

Seorang santri yang menjadi mahasiswa berarti harus siap untuk menjadi seorang mujtahid, walaupun levelnya tidak seperti 4 orang mujtahid fiqh (Imam Hambal, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Hanafi). Tapi setidaknya ini memunculkan kebebasan berpikir seorang mahasiswa dan juga menyatukan pemahaman santrinya agar lebih memperdalam ilmu yang dimilikinya.

Comments

Popular posts from this blog

Prinsip 1 # Seri Ushul 'Isyrin

"Islam adalah sistem yang menyeluruh yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan ummat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih." - pasal 1 Ushul 'Isyrin - Terlihat nampak jelas oleh kita, bahwa sesunguhnya pemikiran yang dibawa oleh Hasan al-Banna ini ketika diawal adalah memahamkan islam terlebih dahulu. Hasan al-Banna dengan berbagai intepretasinya, menegaskan bahwa sesungguhnya kehancuran islam adalah pemahaman yang lemah terhadap islam. Makanya disini beliau mengawali langkahnya dengan Syumuliyatul Islam. Kebencian orang-orang yang benci terhadap islam semakin membesar. Oleh karena itu, orang-orang yang benci terhadap islam menyeru agar orang-orang islam jauh terhadap agama

Prinsip 3 # Seri Ushul 'Isyrin

"Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah (kesungguhan dalam beribadah) adalah cahaya dan kenikmatan yang ditanamkan Allah di dalam hati hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sedangkan ilham, lintasan perasaan, ketersingkapan (rahasia alam), dan mimpi bukanlah bagian dari dalil hukum-hukum syariat. Ia bisa juga dianggap sebagai dalil dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan teks-teksnya" Ustadz Hasan al-Banna dalam pasal ini seolah mengatakan kepada kita bahwa kesempurnaan islam kita dengan berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah mempunyai efek samping yaitu Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah (kesungguhan dalam beribadah). Jadi Iman yang tulus, ibadah yang benar, mujahadah adalah efek samping dari kesempurnaan islam kita dengan landasan al-Quran dan as-Sunnah. Beliau juga menambahi bahwa Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah adalah cahaya bagi orang-orang yang keislamannya sudah sempurna. Ia juga sebuah kenikmatan yang ditan

Prinsip 10 # Seri Ushul Isyrin

Ma'rifah kepada Allah dengan sikap tauhid dan penyucian(dzat)-Nya adalah setinggi-tinggi tingkatan aqidah islam. Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan hadits-hadits shahih tentangnya serta berbagai keterangan mutasyabihat yang berhubungan dengannya kita cukup mengimaninya sebagaimana adanya, tanpa ta'wil dan ta'thil dan tidak juga memperuncing perbedaan yang terjadi diantara para ulama. Kita mencukupkan diri dengan keterangan yang ada, sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya mencukupkan diri dengannya. "Orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami (Ali-Imron : 7)'" Permasalahan dalam pasal 10 ini adalah tentang penafsiran kepada ma'rifat kepada Allah. Permasalahan ini muncul ketika mulai bermunculan aliran-aliran aqidah dalam islam, mulai dari qadariyah yang sepenuhnya percaya adanya takdir Allah dan mereka percaya bahwa segala sesuatu itu skenarionya suda