Skip to main content

Prinsip 15 #Seri Ushul Isyrin

“Doa, apabila diiringi tawasul kepada Allah dengan salah satu makhluk-Nya adalah perselisihan furu’ bukan termasuk masalah aqidah”.

Pada prinsip ke-15 ini, ust.Hasan Al-Banna ingin menyampaikan tentang doa dan tata cara berdoa. Harus dibangun satu pemahaman bahwa doa adalah sebaik-baik cara kita/manusia untuk mendekatkan diri kita kepada Allah Sang Pencipta. Dan Allah selalu mengabulkan doa-doa yang dipanjatkan oleh makhlukNya. Memang terkadang ada doa kita yang tidak langsung dikabulkan oleh Allah, bisa jadi, kita berhuznodzon kepada Allah, tata cara berdoa kita tidak atau belum benar. Atau mungkin bisa jadi, Allah lebih tahu apa yang ingin kita butuhkan.
Allah dalam beberapa ayat berfirman bahwa “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku”. Disini Allah menampakkan begitu pemurahnya Ia sehingga Allah pasti akan mengabulkan doa setiap orang-orang yang memohon kepadaNya. Tapi ingat, Allah melanjutkan dalam ayat itu bahwa syarat doanya orang-orang itu terkabulkan ada dua: 1. Kita harus senantiasa memenuhi segala perintahNya. 2. Kita harus menjadi orang beriman dahulu.
Percayalah bahwa Allah pasti akan mempermudah urusan kita semuanya, jika kita sudah mempermudah urusan kita dengan Allah. Berjalan diatas perintah-Nya itu membuat kita tenang dan ada kenyamanan dalam hidup. Maka berdoalah kepada Allah jika kita sudah merasa yakin bahwa kita sudah memenuhi segala perintahNya. Tak perlu ragu dengan janji Allah. Berdoa adalah sebuah optimisme seorang muslim. Ia adalah bagian dari usaha manusia untuk mencapai apa yang diinginkan, dicita-citakan.
Doa pun juga ada tempat dan waktu yang diistijabah. Berdoalah ketika turun hujan, sebab malaikat rahmat turun ke bumi. Setiap tetesan hujan yang Allah turunkan, itu bersamaan dengan malaikat turun ke bumi. Berdoalah ketika di padang ‘Arafah, sebab Allah mengampuni dosa-dosa nabi Adam di padang ‘Arafah. Berdoalah ketika menuntut ilmu, sebab meninggalnya seorang penuntut ilmu adalah syahid, apalagi doanya yang setiap hari kepada Allah.
Tentunya kita masih ingat dengan cerita tiga orang yang tertutup di gua dan tidak bisa keluar. Kemudian, ketiga orang tersebut berdoa dengan amal shaleh masing-masing. Orang yang pertama, ia berdoa dengan amal shaleh karena kejujurannya mengembalikan kambing-kambing gunung kepada pemiliknya. Lalu kemudian Allah membuka batu itu dan ada sedikit celah keluar. Kemudian orang kedua berdoa dengan amal shaleh karena telah membantu kedua orang tuanya yang telah renta. Terbukalah pintu gua itu sedikit lagi. Orang yang ketiga berdoa dengan amal shaleh karena mampu menahan hawa nafsu sewaktu digoda oleh perempuan cantik. Kemudian batu itu terbuka dan akhirnya bisa keluar.
Dari cerita tersebut, itulah yang dinamakan tawasul. Di dalam berdoa kita dibolehkan bertawasul kepada tiga hal: 1. Tawasul dengan Asma Allah Ta’ala 2. Tawasul dengan minta doanya orang shalih ketika masih hidup. Artinya kita meminta tolong kepada orang shalih yang masih hidup untuk membantu mendoakan kita agar kita mendapatkan apa yang kita inginkan. Dan ini pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab ketika berdoa minta hujan. Dan Umar menyuruh Al-Abbas, paman Rasulullah untuk berdoa kepada Allah, dan Al-Abbas berdoa dan para sahabat mengamininya. 3. Tawasul dengan Amal shalih. Seperti yang sudah diceritakan diatas. Itulah tawasul dengan amal shalih.
Tawasul atau sederhananya adalah berdoa melalui perantara. Kadang kita meributkan permasalahan ini daripada doa yang dipanjatkan. Buat apa jikalau Allah langsung mengabulkan doa kita tapi kita tetap tawasul? Kadang kita tidak percaya diri dengan apa yang sudah kita lakukan. Alasan yang dibuat ketika ada pertanyaan seperti itu, maka jawabannya yang sering terdengar adalah karena kita terlalu banyak dosa-dosa dan diri ini malu untuk berdoa kepadaNya. Bukankah kita lebih mudah jika kita langsung berdoa kepada Allah tanpa melalui perantara? Kita jauh lebih leluasa untuk curhat dengan Allah. Berlama-lama doa dengan Allah.
Pada praktek lapangan, kita menjumpai banyak orang awam yang menyangka bahwa mereka bertawasul kepada orang-orang shalih dan Rasulullah Saw. setelah wafatnya. Padahal sebenarnya mereka meminta tolong kepada orang yang sudah mati, orang yang sudah tidak bisa apa-apa kemudian diminta tolong. Sehingga ini bisa menjerumuskan orang-orang awam kepada kemusyrikan. Kita harus pahami bahwa meminta tolong kepada makhluk dengan meminta tolong kepada Allah melalui makhlukNya adalah sesuatu yang berbeda. Tidak sama. Namun, banyak orang-orang awam yang tidak mengetahuinya dan terkadang salah kaprah dengan pemahaman yang demikian itu.
Ketidakfahaman kita juga sebagai manusia, diantara kita yang ahli agama kadang ada yang menganggap tawasul adalah sama dengan meminta tolong kepada makhluk. Sehingga akhirnya mereka menganggap bahwa semua tawasul adalah syirik, karena itu meminta tolong kepada makhluk. Ucapan: “Ya Allah, dengan kemuliaan NabiMu, aku mohon ampunilah dosa-dosaku”. Bagi ahli agama yang menganggap tawasul itu syirik, doa diatas sudah termasuk dikategorikan kedalam kesyirikan. Karena berdoa itu harus murni kepada Allah .SWT.
Namun di sisi lain, menganggap meminta tolong kepada makhluk adalah tawasul. Ucapan: “Ya syaikh fulan, ampunilah aku, berkahilah diriku”. Ucapan tadi dianggap sebagai tawasul, padahal sudah jelas-jelas dia meminta kepada penghuni kubur yang tidak bisa memberikan manfaat apalagi mudharatnya. Inilah yang harus kita pahami bersama, bahwa doa yang harus kita ucapan harus benar-benar aman dari kesyirikan, karena Allah akan mengabulkan doa kita semuanya, asalkan kita menta’ati peraturan dan perintah dari Allah dan kita beriman kepadaNya.
Perkataan yang disampaikan oleh Imam Hasan Al-Banna tidaklah keliru, bahwa tawasul itu bukanlah termasuk dalam pembahasan aqidah, melainkan tata cara berdoa. Ada beberapa ulama yang memakruhkan tawasul itu sendiri seperti sikap Imam Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah:
Pendapat yang benar menurut pandangan saya adalah pendapat jumhur(mayoritas) ulama, bahwa tawasul dengan orang shalih adalah makruh. Kami tidak mengingkari orang yang melakukannya dan tidak ada pengingkaran dalam permasalahan ijtihad. Tetapi yang kami ingkari adalah orang yang lebih mengagungkan permintaan kepada makhluknya dibanding kepada Allah Ta’ala”(Fatawa wa Masail, Hal. 68-69, Mausu’ah Ibn Abdil Wahhab).
           
Bagaimana cara kita menyikapinya?
Ini yang harusnya akan kita ajarkan kepada orang-orang awam. Memahamkan pengertian tawasul kepada Allah melalui makhlukNya dengan pengertian meminta tolong kepada orang yang sudah mati. Ucapan Abdul Wahhab tentang makruhnya tawasul berarti memang pembahasan tawasul ini adalah termasuk dalam pembahasan fiqh bukan aqidah. Sebab, di dalam aqidah hanya ada itsbat(pengukuhan) dan nafi(penolakan). Dan pembahasan wajib,sunnah,mubah,makruh,dan haram hanya ada di kitab fiqh.
Maka sudah tentu, kita harus mengetengahkan bahwa ada tawasul yang diperselisihkan dan ada tawasul yang disepakati oleh jumhur ulama. Dan kita harus tahu kedua tawasul tersebut. Tawasul yang sudah disepakati oleh jumhur ulama adalah 1. Tawasul dengan Asma Allah Ta’ala. 2. Tawasul dengan amal-amal shalih kita. 3. Tawasul dengan Rasulullah bahwa kita berdoa di dunia untuk meminta syafaatnya di akhirat. Sedangkan tawasul yang diperselisihkan adalah tawasul kepada orang-orang shalih yang sudah wafat.
Sikap kita, jika justru Allah ingin langsung mengabulkan doa kita adalah sampaikan langsung kepada Allah, tanpa menggunakan perantara. Allah yang dekatNya dengan makhluk bahkan lebih dekat dengan urat nadi makhluk tersebut, kenapa harus melalui perantara. Ini dilakukan sebenarnya untuk menjauhi perselisihan yang ada. Namun, jikalau kita ingin bertawasul, alangkah lebih baiknya kita bertawasul dengan apa-apa yang sudah disepakati oleh jumhur ulama.
Kita juga tak perlu untuk mengkafirkan seseorang/kelompok yang apabila ada yang berdoa dengan tawasul kepada Allah dengan salah satu makhlukNya. Yang harus kita hindari bersama adalah berdoa dan meminta tolong langsung kepada yang sudah mati. Sebab selain tidak dapat mengabulkan doa kita, bisa jadi kita bisa terkena dosa syirik.

Wallahu a’lam

Referensi:
  1. Hawwa, Sa’id. 2009. Membina Angkatan Mujahid. Era Intermedia: Solo
  2. Al-Banna, Hasan. 2012. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin,cet XII. Era Intermedia: Solo.
  3. http://www.ustadzfarid.com/2011/07/bolehkah-kita-tawasul.html, diakses tanggal 21 April 2013, jam 14.20.

Comments

Popular posts from this blog

Prinsip 1 # Seri Ushul 'Isyrin

"Islam adalah sistem yang menyeluruh yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan ummat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih." - pasal 1 Ushul 'Isyrin - Terlihat nampak jelas oleh kita, bahwa sesunguhnya pemikiran yang dibawa oleh Hasan al-Banna ini ketika diawal adalah memahamkan islam terlebih dahulu. Hasan al-Banna dengan berbagai intepretasinya, menegaskan bahwa sesungguhnya kehancuran islam adalah pemahaman yang lemah terhadap islam. Makanya disini beliau mengawali langkahnya dengan Syumuliyatul Islam. Kebencian orang-orang yang benci terhadap islam semakin membesar. Oleh karena itu, orang-orang yang benci terhadap islam menyeru agar orang-orang islam jauh terhadap agama

Prinsip 3 # Seri Ushul 'Isyrin

"Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah (kesungguhan dalam beribadah) adalah cahaya dan kenikmatan yang ditanamkan Allah di dalam hati hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sedangkan ilham, lintasan perasaan, ketersingkapan (rahasia alam), dan mimpi bukanlah bagian dari dalil hukum-hukum syariat. Ia bisa juga dianggap sebagai dalil dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan teks-teksnya" Ustadz Hasan al-Banna dalam pasal ini seolah mengatakan kepada kita bahwa kesempurnaan islam kita dengan berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah mempunyai efek samping yaitu Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah (kesungguhan dalam beribadah). Jadi Iman yang tulus, ibadah yang benar, mujahadah adalah efek samping dari kesempurnaan islam kita dengan landasan al-Quran dan as-Sunnah. Beliau juga menambahi bahwa Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah adalah cahaya bagi orang-orang yang keislamannya sudah sempurna. Ia juga sebuah kenikmatan yang ditan

Prinsip 10 # Seri Ushul Isyrin

Ma'rifah kepada Allah dengan sikap tauhid dan penyucian(dzat)-Nya adalah setinggi-tinggi tingkatan aqidah islam. Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan hadits-hadits shahih tentangnya serta berbagai keterangan mutasyabihat yang berhubungan dengannya kita cukup mengimaninya sebagaimana adanya, tanpa ta'wil dan ta'thil dan tidak juga memperuncing perbedaan yang terjadi diantara para ulama. Kita mencukupkan diri dengan keterangan yang ada, sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya mencukupkan diri dengannya. "Orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami (Ali-Imron : 7)'" Permasalahan dalam pasal 10 ini adalah tentang penafsiran kepada ma'rifat kepada Allah. Permasalahan ini muncul ketika mulai bermunculan aliran-aliran aqidah dalam islam, mulai dari qadariyah yang sepenuhnya percaya adanya takdir Allah dan mereka percaya bahwa segala sesuatu itu skenarionya suda