“Istilah yang sudah mentradisi tidak akan mengubah hakikat hukum
syar’inya. Akan tetapi ia harus disesuaikan dengan maksud dan tujuan syariat
itu dan kita berpatokan dengannya. Disamping itu kita harus berhati-hati
terhadap berbagai istilah menipu yang sering digunakan dalam pembahasan masalah
dunia dan agama. Ibrah itu ada pada esensi suatu nama, bukan pada nama itu
sendiri”.
Dalam pasal ini, Hasan al-Banna
ingin memahamkan kepada kita bahwa di dunia sekarang ini dipenuhi dengan
istilah-istilah yang salah menurut syariat, namun ini sudah mentradisi atau
sudah mendarah daging. Ini yang bahaya, jika masyarakat tidak disadarkan dengan
pengertian-pengertian istilah keliru, maka masyarakat bisa terjebak dengan
pemahaman luarnya saja tanpa ada penela’ah secara mendalam. Atau sebenarnya
masyarakat sudah terbiasa dengan istilah-istilah ini karena ini sudah tradisi. Menurut
para fuqaha, tradisi adalah nama untuk hal yang dikenal, menjadi
kebiasaan dan dijalani oleh masyarakat dalam kehidupannya.
Jika sudah tradisi, masyarakat di
Indonesia ini susah sekali untuk disadarkan. Dan ini menjadi beban berat bagi du’at
yang ingin meluruskan istilah-istilah keliru yang sudah mendarah daging
didalam masyarakat. Sebagai contoh adalah riba’, padahal Allah sendiri
telah menegaskan di dalam al-Quran tentang keharaman riba’(Al-Baqarah:275,
Ali Imran:130).
Namun karena kepintaran orang-orang kapitalis dalam
menghegemoni perekonomian seluruh dunia dan mereka tidak mau kehilangan pasar
di dunia muslim, maka nama riba tersebut diganti menjadi bunga bank yang
tidak terlihat secara Nampak, atau dengan bahasa bonus dari bank.
Hingga kata-kata “bunga bank” atau “bonus
bank” itu lambat laun dikenalkan oleh orang-orang kapitalis melalui konspirasi,
ditanamkan dan akhirnya masuk ke dalam system bank-bank konvensional. Contoh lain
adalah khamr yang mungkin di Indonesia berganti nama menjadi anggur atau
nabidz. Anggur atau arak ini sudah campuran walaupun nilai alkoholnya
mungkin 1% atau 0% yang tingkat memabukkannya tidak terlalu parah, tapi tetap
saja itu khamr. Karena pengaharaman khamr itu terletak pada hakikat
dan kerusakan yang ditimbulkannya bukan karena nama dan caranya. Rasulullah
sendiri pernah bersabda tentang khamr ini : “Sekelompok umatku akan
menghalalkan khamr dengan cara memberi nama selainnya”(hadits dikeluarkan oleh
Ahmad dengan sanad Hasan).
Kemudian Hasan al-Banna melanjutkan
dengan kata-kata, “disamping kita kita harus berhati-hati terhadap berbagai
istilah menipu yang sering digunakan dalam pembahasan masalah dunia dan agama”.
Said Hawwa berkomentar dengan perkataan Hasan al-Banna yang ini, bahwa istilah
yang menipu ini sebenarnya banyak mempengaruhi sikap dan pendirian kaum
muslimin. Karena istilah-istilah semacam ini memang sengaja diciptakan untuk
mengelabuhi orang-orang muslim agar orang-orang muslim itu tersesat dan jauh
dari ajaran aslinya.
Seperti misalnya adalah dengan dalih bahwa ajaran islam itu
adalah ajaran persaudaraan, kemudian mereka orang-orang yang suka
menyelewengkan istilah menjadikan orang-orang kafir sebagai saudara orang-orang
muslim.
Itulah wanti-wanti/sebuah warning
bagi seluruh kaum muslimin agar jangan tertipu dengan istilah-istilah yang
keliru dan menipu , karena belum tentu akan mengubah hakikat dan hukum syar’I dari
esensi tersebut. Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengatakan, “sekiranya perubahan nama
dan bentuk itu berkonsekuensi pada perubahan hukum dan hakikatnya tentu semua
agama akan rusak dan seluruh syariat akan berubah dan islam ini akan lenyap”
Namun kalau sekiranya istilah yang
sudah mentradisi itu benar dan sesuai syariat maka kita bisa berpatokan
dengannya. Itulah maksud dari perkataan Hasan al-Banna “Akan tetapi ia harus
disesuaikan dengan maksud dan tujuan syariat itu dan kita berpatokan dengannya”.
Jadi, para du’at harus menelaah seluruh istilah-istilah yang sering
digunakan dalam pembahasan dunia dan agama, agar masyarakat mampu mencerna
maksud dari syariat tersebut.
Jika istilah yang sudah mentradisi tersebut salah, maka sudah
sepatutnya seorang da’I harus menjelaskan bahwa istilah tidak mempengaruhi
hakikat dan tujuan syar’inya. Dan seorang da’I juga dituntut untuk
membatasi makna istilah yang digunakan, agar tidak muncul kerancuan maupun
ketidakjelasan pada istilah-istilah baru, sehingga niat da’I tersebut
bagus akan tetapi dalam penggunakaan istilah yang tidak bagus akhirnya muncul
istilah yang keliru. Semoga Allah melindungi orang-orang muslim dari
istilah-istilah keliru atau ungkapan-ungkapan yang menipu
Wallahu a'lam
Comments
Post a Comment
thank's for your comentar,bro !!!