Oleh: Shamsi Ali - Imam Masjid Pusat Kegiatan Islam ("Islamic Centre") New York, AS
Berapapun yang meninggal tentu bukan sesuatu yang menjadi permasalahan mendasar tulisan ini. Tapi justru fenomena apa yang sedang terjadi di Mesir saat ini? Kenapa proses revolusi, atau mungkin memakai kata reformasi, terlalu rumit, berkepanjangan dan harus menelan korban yang besar?
Pertama, kita harus menyadari bahwa Mesir memiliki strategi geografis yang sangat krusial. Boleh dikatakan, selain Turki, Mesir juga merupakan penyambung antara dunia barat dan timur.
Kedua, setelah jatuhnya Saddam Husain di Irak dan Moammad Khaddafy di Libya, sesungguhnya tinggal dua negara yang menjadi penentu di Timur Tengah. Yaitu Arab Saudi di kalangan negara-negara Teluk dan Mesir di kalangan negara-negara non Teluk. Persaingan antara kedua negara ini juga seringkali, tidak saja secara politik dan ekonomi, tapi tidak jarang merembet kepada persaingan pemikiran Islam sekaligus. Saudi seringkali merasa mewakili pemikiran Islam yang sejati karena di sanalah Rasulullah SAW dilahirkan. Sementara Mesir merasa mewakili sumber ilmu-ilmu Islam dengan universitas Al-Azhar yang terkenal.
Kita sekali lagi dihentakkan
oleh berita pembunuhan massal yang terjadi di Mesir. Beragam jumlah yang
disampaikan media massa, tergantung sumbernya. Tapi yang pasti
Kementerian Kesehatan Mesir sendiri melaporkan ada sekitar 200-an yang
terbunuh akibat serangan militer kepada para demonstran yang damai itu. Lazimnya,
jumlah yang disampaikan oleh pihak pelaku mewakili minimal dari
kemungkinan jumlah yang sesungguhnya. Washington Post melaporkan dalam
'breaking news'nya dengan jumlah yang lebih besar, sekitar 500-an orang.
Bahkan website militer Mesir sendiri sempat menuliskan sekitar 2.000-an
korban.
Berapapun yang meninggal tentu bukan sesuatu yang menjadi permasalahan mendasar tulisan ini. Tapi justru fenomena apa yang sedang terjadi di Mesir saat ini? Kenapa proses revolusi, atau mungkin memakai kata reformasi, terlalu rumit, berkepanjangan dan harus menelan korban yang besar?
Pertama, kita harus menyadari bahwa Mesir memiliki strategi geografis yang sangat krusial. Boleh dikatakan, selain Turki, Mesir juga merupakan penyambung antara dunia barat dan timur.
Apalagi,
kenyataannya Mesir memiliki perbatasan langsung dengan kedua pihak,
Palestina dan Israel, yang merupakan "pusat konflik dunia" saat ini.
Oleh karenanya, siapa yang memenangkan pertarungan Mesir, memberikan
warna tersendiri bagi masa depan dunia, khususnya dalam konteks konflik
Timur Tengah.
Kedua, setelah jatuhnya Saddam Husain di Irak dan Moammad Khaddafy di Libya, sesungguhnya tinggal dua negara yang menjadi penentu di Timur Tengah. Yaitu Arab Saudi di kalangan negara-negara Teluk dan Mesir di kalangan negara-negara non Teluk. Persaingan antara kedua negara ini juga seringkali, tidak saja secara politik dan ekonomi, tapi tidak jarang merembet kepada persaingan pemikiran Islam sekaligus. Saudi seringkali merasa mewakili pemikiran Islam yang sejati karena di sanalah Rasulullah SAW dilahirkan. Sementara Mesir merasa mewakili sumber ilmu-ilmu Islam dengan universitas Al-Azhar yang terkenal.
Ketiga, walaupun secara sumber daya alam Mesir tidak
sekaya negara-negara Timur Tengah lainnya, bahkan tidak sekalipun dengan
Sudan yang kaya minyak, tapi Mesir memiliki modal besar yang tidak
dimiliki oleh negara-negara Timur Tengah lainnya. Yaitu sumber manusia
yang hebat karena Mesir merupakan negara berpenduduk terbesar di Timur
Tengah, dan paling banyak memiliki sarjana setelah Palestina.
Keempat, dalam sejarah konflik
Timur Tengah, Mesir memiliki keterkaitan dan keterlibatan langsung, dan
seringkali menjadi tumpuan bagi pihak-pihak berkepentingan. Bahkan
serangan Israel ke Gaza terakhir hanya dapat dihentikan dengan
keterlibatan langsung Presiden Moursi atas permintaan Menlu AS, Hillary
Clinton, saat itu. Sehingga diyakini bahwa pertarungan yang terjadi di
Mesir juga memiliki konsekwensi langsung terhadap konflik Timur Tengah.
Kelima, sesungguhnya beberapa negara di Timur Tengah memilih
mengambil sikap 'munafik' dalam merespon kejadian-kejadian mutakhir di
Mesir. Salah satu negara termaksud adalah Saudi Arabia, yang justru
memberikan dukungan kepada militer Mesir pascakudeta Presiden Moursi
yang sah. Setelah mendapat sorotan umat di berbagai belahan
dunia, baru kemudian sekolompok ulama Saudi mengeluarkan pernyataan
mendukung Presiden Moursi. Tapi yang pasti, jangankan mengeluarkan
pernyataan yang melawan kebijakan kerajaan, berdoa di saat khutbah saja
dan tidak menyebut nama raja, akan berakibat fatal kepada sheikh
tersebut.
Oleh karenanya, ketika sekolompok ulama Saudi
mengeluarkan pernyataan mendukung Moursi, dan itu setelah umat
memberikan sorotan tajam kepada dukungan pemerintah Saudi kepada militer
Mesir, dipandang penuh rekayasa. Poin yang ingin saya sampaikan di sini
adalah bahwa kemenangan reformasi di Mesir sesungguhnya sebuah momok
yang sangat ditakuti oleh pemerintah Saudi Arabia.
Pada akhirnya saya melihat bahwa fenomena-fenomena mutakhir di Timur Tengah, termasuk Mesir dan Siria, merupakan alamat terang akan kegagalan reformasi Timur Tengah, sekaligus menguak kegagalan demokrasi.
Pada akhirnya saya melihat bahwa fenomena-fenomena mutakhir di Timur Tengah, termasuk Mesir dan Siria, merupakan alamat terang akan kegagalan reformasi Timur Tengah, sekaligus menguak kegagalan demokrasi.
Kudeta militer
yang dilakukan oleh pimpinan militer Mesir, bukan tidak mempertimbangkan
reaksi-reaksi internasional di kemudian hari. Hitungan itu ada dan
sangat jitu, kalau tidak memang ada kolaborasi dengan pihak-pihak luar
yang berkepentingan. Sebagai seorang Muslim yang hidup di Amerika
Serikat dan menikmati arti sebuah demokrasi, melihat kejadian-kejadian
mutakhir Mesir tentu menyakitkan. Menyakitkan, karena Amerika
yang selama ini mengkampanyekan, dan bahkan lewat aksi militer (tentu
sebuah fenomena paradoxical), ternyata gagal melindungi proses
demokratisasi di Mesir.
Selain itu, tentu menyakitkan bahwa
selama ini Islam diobok-obok dengan berbagai tuduhan, antara lain, tidak
sejalan dengan demokrasi, justeru kini antithesis demokrasi itu
terpakai untuk mengobok-obok aktifis Muslim. Akankah ini sebuah
kesimpulan bahwa proses demokratisasi di Timur Tengah dan dunia telah
mengalami kematian di tengah jalan? Semoga saja tidak. Wallahu a’lam!
Comments
Post a Comment
thank's for your comentar,bro !!!