Skip to main content

Cerdas Berkomunikasi Nabawi

         
Saat ini,komunikasi merupakan kunci untuk membuka pintu interaksi kita dengan manusia lainnya. Kita bisa dicintai dan dibenci karena tergantung dari bagaimana kita berkomunikasi dengan manusia. Sebaik-baik manusia saat ini adalah orang baik berkomunikasi dengan manusia yang lainnya. Sedangkan seburuk-buruk manusia adalah orang yang jelek ketika berkomunikasi dengan manusia yang lainnya.
            Seperti dari yang Nabi Muhammad SAW ajarkan kepada kita, bahwa barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka sebaiknya ia bicara yang baik atau diam (H.R bukhari). Sehingga, ada keunggulan berkomunikasi sesuai dengan yang diperintahkan Nabi Muhammad SAW. Allah pun menyebutkan teknik-teknik berkomunikasi yang qur’ani; diantaranya : “qoulan layyina”, “:qoulan baligha”, “qoulan sadida”, “qoulan karima”, “qoulan ma’rufa”. Bahkan Allah menggambarkan suatu perkataan yang baik itu seperti pohon yang baik, dimana akar menghujam ke bawah tanah dan cabangnya menjulang ke langit. Dan selalu memberikan buah pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.
            Setidaknya ada 4, mengapa kita harus berkomunikasi sesuai dengan nabi. Yang Pertama, Tujuan atau niat yang baik. Mengutarakan tujuan dalam berbicara adalah menjadi keunggulan Nabi SAW dalam berkomunikasi dengan orang lain. Sehingga, tidak terlihat berbasa-basi dan mengulur-ngulur banyak waktu. Yang Kedua, Kandungan Makna. Orang yang memahami bahwa setiap apa yang dilakukan oleh mulut akan dimintai pertanggungjawaban, maka ia akan lebih menyedikitkan berbicara dan membanyakkan diam. Atau berbicara secukupnya dengan kandungan makna yang banyak.
            Yang Ketiga, Pilihan Kata. Berbicara adalah teknik bagaimana agar orang tertarik kepada kita. Nabi SAW mencontohkan ketika ia sedang berdebat dengan ‘Utbah bin Rabi’ah yang diutus oleh kaum Musyrikin untuk menghentikan dakwah Nabi SAW melalui cara berkomunikasi. Setelah mendengarkan penjelasan dari ‘Utbah bin Rabi’ah, kemudian Nabi SAW membacakan surat Al-Fushshilat ayat 1-13. Sejenak kemudian, ‘Utbah bin Rabi’ah diam tak berkutik dan tak mampu berkata-kata selama satu minggu. Yang Keempat, Efek Ucapan. Ini juga harus diperhatikan, agar bicara kita ini tidak asal bicara, sehingga harus dipertimbangkan bagaimana efek ucapan kita nantinya. Sungguh suatu kebodohan jika kita berbicara ceplas-ceplos, tapi ia tidak memikirkan bagaimana efek ucapannya. Efek ucapan ini juga harus kita perhatikan, apakah ada orang yang salah sangka terhadap apa yang kita sampaikan.
            Dari keempat keunggulan tadi, semuanya dilakukan oleh sahabat Nabi SAW, binaan yang pertama hijrah yaitu Ja’far bin Abi Thalib. Ketika ia harus menghadapi fitnahan yang dilakukan kaum Musyrikin ketika berada di Habasyah. Kita perhatikan bagaimana ucapan Ja’far bin Abi Thalib, “Baginda, dahulu kami adalah masyarakat bodoh. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, dan suka berzina. Kami biasa memutus silaturahim dan menindas yang lemah. Demikianlah kondisi kami hingga Allah mengutus seorang Rasul, yang hadir ditengah-tengah kami.
Kami mengenal betul silsilah keturunan Rasul itu sebagaimana kami bisa membuktikan kejujuran, sifat amanah dan kesucian pribadinya. Dia menyeru kami agar hanya menyembah Allah, mengesakan-Nya. Dia membimbing kami agar berkata jujur, menunaikan amanah, menyambung silaturrahim.
Diantara ajaran Rasul itu adalah berupaya menahan diri dari perbuatan haram, menumpahkan darah orang lain tanpa haq, berzina, berdusta, dan memakan harta anak yatim. Seolah tidak pernah lelah mengajari kami supaya mendirikan shalat, membayar zakat dan mengerjakan puasa.
Kami percaya penuh dan beriman kepada Rasul itu, pun mengikuti dakwahnya. Sejak saat itu kami hanya beribadah kepada Allah, berhenti menyekutukan-Nya. Karena keimanan inilah kaum Quraisy geram, lantas berbalik memusuhi kami dan menyiksa kami. Mereka bahkan memaksa kami untuk kembali kepada agama semula dengan menyembah berhala-berhala, meninggalkan peribadahan kepada Allah. Atau dengan kata lain kami dipaksa untuk melakukan kebiasaan buruk lagi.”  Kemudian, sahabat Ja’far melafadzkan surat Maryam yang membuat Raja Najasyi terdiam dan menangis. Inilah keunggulan dari berkomunikasi yang Nabi SAW ajarkan kepada kita.

Lisan, cerminan kepribadian manusia
            Salah satu faktor yang terpenting dalam berkomunikasi adalah lisan. Nabi SAW telah memberikan peringatan agar menjaga lisan. Suatu ketika Muadz bin Jabal bertanya: “Wahai Nabi Allah, haruskah kita bertanggung jawab atas setiap ucapan kita?” selanjutnya, Nabi SAW menjawab, “betapa meruginya ibumu wahai Muadz. Adakah yang menyebabkan manusia tersungkur dalam neraka selain tutur katanya sendiri?”.
            Kesadaran bahwa lisan adalah cerminan kepribadian manusia akan mendorong kita untuk senantiasa mengontrolnya, terlebih dahulu memikirkannya dan menimbang setiap kata yang hendak diucapkan. Maka semakin lemah control terhadap buah lisan menjadi satu bukti nyata akan buruknya jiwa kita. Sabda Nabi SAW kepada istrinya,Aisyah : “Hai Aisyah, orang yang paling rendah martabatnya di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang semasa hidup dikucilkan orang lain karena mereka sungkan dengan tutur katanya yang keji”(H.R Bukhari Muslim)
            Maka dari itu, merencanakan komunikasi sangatlah penting. Perkataan yang terlontar dari lisan kita bisa jadi menjadi awal dari petaka yang terjadi esok hari. Mungkin sepata kata yang terucap menjadi pemicu keberhasilan besar yang terukir dalam lembaran sejarah hidup.
            Kita camkan nasihat Imam Asy-Syafi’I kepada muridnya, Rabi’: “Ya Rabi’, janganlah ucapkan sepatah kata pun yang tidak perlu. Apabila kamu melontarkan satu ucapan, maka kamu telah dikuasai ucapanmu sendiri, sedangkan kamu tidak lagi berkuasa atasnya.” Sehingga, dalam menyiapkan komunikasi, haruslah kita siapkan bagaimana kondisi fisik dan psikis kita ketika kita akan berkomunikasi kepada orang lain dan tidak ada yang berhak memaksa kita untuk diam ataupun berbicara.

Comments

Post a Comment

thank's for your comentar,bro !!!

Popular posts from this blog

Prinsip 1 # Seri Ushul 'Isyrin

"Islam adalah sistem yang menyeluruh yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan ummat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih." - pasal 1 Ushul 'Isyrin - Terlihat nampak jelas oleh kita, bahwa sesunguhnya pemikiran yang dibawa oleh Hasan al-Banna ini ketika diawal adalah memahamkan islam terlebih dahulu. Hasan al-Banna dengan berbagai intepretasinya, menegaskan bahwa sesungguhnya kehancuran islam adalah pemahaman yang lemah terhadap islam. Makanya disini beliau mengawali langkahnya dengan Syumuliyatul Islam. Kebencian orang-orang yang benci terhadap islam semakin membesar. Oleh karena itu, orang-orang yang benci terhadap islam menyeru agar orang-orang islam jauh terhadap agama

Prinsip 3 # Seri Ushul 'Isyrin

"Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah (kesungguhan dalam beribadah) adalah cahaya dan kenikmatan yang ditanamkan Allah di dalam hati hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sedangkan ilham, lintasan perasaan, ketersingkapan (rahasia alam), dan mimpi bukanlah bagian dari dalil hukum-hukum syariat. Ia bisa juga dianggap sebagai dalil dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan teks-teksnya" Ustadz Hasan al-Banna dalam pasal ini seolah mengatakan kepada kita bahwa kesempurnaan islam kita dengan berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah mempunyai efek samping yaitu Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah (kesungguhan dalam beribadah). Jadi Iman yang tulus, ibadah yang benar, mujahadah adalah efek samping dari kesempurnaan islam kita dengan landasan al-Quran dan as-Sunnah. Beliau juga menambahi bahwa Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan mujahadah adalah cahaya bagi orang-orang yang keislamannya sudah sempurna. Ia juga sebuah kenikmatan yang ditan

Prinsip 10 # Seri Ushul Isyrin

Ma'rifah kepada Allah dengan sikap tauhid dan penyucian(dzat)-Nya adalah setinggi-tinggi tingkatan aqidah islam. Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan hadits-hadits shahih tentangnya serta berbagai keterangan mutasyabihat yang berhubungan dengannya kita cukup mengimaninya sebagaimana adanya, tanpa ta'wil dan ta'thil dan tidak juga memperuncing perbedaan yang terjadi diantara para ulama. Kita mencukupkan diri dengan keterangan yang ada, sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya mencukupkan diri dengannya. "Orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami (Ali-Imron : 7)'" Permasalahan dalam pasal 10 ini adalah tentang penafsiran kepada ma'rifat kepada Allah. Permasalahan ini muncul ketika mulai bermunculan aliran-aliran aqidah dalam islam, mulai dari qadariyah yang sepenuhnya percaya adanya takdir Allah dan mereka percaya bahwa segala sesuatu itu skenarionya suda